Halloween Costume ideas 2015

Muhammad Iqbal Husein - ushul-fiqh الأمر PERINTAH

PERINTAH (الأَمْرُ)
Kata al-amrsecara bahasa memiliki makna dasar ‘perintah atau urusan’. Sedangkan dari  segi istilah, ulama ushul fiqh memberikan definisi al-amr sebagai:
طَلَبُ الفِعْلِ مِنَ الأَعْلَى إِلَى الأَدْنَى
“Tuntutan untuk melaksanakan suatu pekerjaan dari yang lebih tinggi tingkatannya (atasan) kepada yang lebih rendah tingkatannya (bawahan)”.
Pengertian perintah (al-amr) sebagaimana disebutkan di atas dapat dipahami keadaannya mengingat suatu tuntutan untuk melaksanakan pekerjaan tertentu akan dapat memberikan dampak aplikatif manakala materi tuntutan tersebut memiliki kekuatan untuk dapat terlaksana. Kekuatan tersebut hanya dapat diberikan atas dasar hubungan hirarkis vertikal dari atas ke bawah (top down). Sehingga pihak yang lebih rendah kedudukannya mampu menerima dan melaksanakan materi tuntutan tersebut. Tidak dinamakan perintah manakala tuntutan tersebut diberikan oleh tingkatan yang sejajar atau yang lebih rendah.
Hubungan hirarkis vertikal dari atas ke bawah secara berurutan telah jelas dinyatakan dalam al-Qur`an Surat al-Nisa` [4]: 59. Dalam ayat tersebut urutannya adalah Allah swt, Rasulullah saw dan uli al-amr(pemerintah Islam).
Adanya perintah dari pihak yang lebih tinggi kedudukannya kepada pihak yang lebih rendah tentulah memiliki maksud tertentu. Sebagaimana Allah swt memerintahkan para hamba-Nya untuk melaksanakan kewajiban-kewajiban agar kelak para hamba-Nya mendapat keberuntungan sebagai orang-orang yang beriman. Demikian juga seterusnya manakala Rasulullah saw dan uli al-amr memberikan perintah, itupun untuk mencapai maksud tertentu yaitu kemaslahatan sebagaimana diamanahkan oleh Allah swt. Dengan demikian, terlaksananya suatu perintah memberikan dampak positif terhadap hasil yang diraih.

1.      Kata-kata yang Menunjukkan al-Amr (Perintah)
1)      فِعْلُ الأَمْرِ (kata kerja perintah). Contoh:
وَأَقِيمُوا الصَّلاةَ(Qs. al-Baqarah [2]: 43)...
خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ...(Qs. al-Taubah [9]: 103)
اُدْعُ إِلَى سَبِيْلِ رَبِّكَ(Qs. al-Nahl [16]: 125)...
فَاعْلَمْ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ...Qs. Muhammad [47]: 19))
يَا أَيُّهَالنَّبِيُّ حَرِّضِ الْمُؤْمِنِيْنَ عَلَى الْقِتَالِ...(Qs. al-Anfal [8]: 65)
أَطِيْعُوْا اللهَ وَ أَطِيْعُوْا الرَّسُوْلَ وَ أُولِى الأَمْرِ مِنْكُمْ(Qs. al-Nisa` [4]: 59)...
2)      الفِعْلُ الْمُضَارِعُ الْمَقْرُوْنُ بِلَامِ الأَمْرِ (kata kerja yang mengandung lam amr). Contoh:
لِيُنْفِقْ ذُوْ سَعَةٍ مِنْ سَعَتِهِ...(Qs. al-Thalaq [65]: 7)
وَلْيَشْهَدْ عَذَابَهُمَا...(Qs. al-Nur [24]: 2)
وَلْيَتَلَطَّفْ وَ لَا يُشْعِرَنَّ بِكُمْ أَحَدًا...(Qs. al-Kahf [18]: 19)
3)      Kata-kata yang memiliki arti perintah, seperti:
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الأمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا...(Qs. al-Nisa` [4]: 58)
إِنَّ الَّذِي فَرَضَ عَلَيْكَ الْقُرْآنَ لَرَادُّكَ إِلَى مَعَادٍ...(Qs. al-Qashash [28]: 85)
كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِتَالُ وَهُوَ كُرْهٌ لَكُمْ...(Qs. al-Baqarah [2]: 216)
ثُمَّ نُنَجِّي رُسُلَنَا وَالَّذِينَ آمَنُوا كَذَلِكَ حَقًّا عَلَيْنَا نُنْجِ الْمُؤْمِنِينَ
(Qs. Yunus [10]: 103)
4)      Ism fi’l al-amr (اِسْمُ فِعْلُ اْلأَمْرِ). Contoh:
عَلَيْكُمْ أَنْفُسَكُمْ لَا يَضُرُّكُمْ مَنْ ضَلَّ إِذَا اهْتَدَيْتُمْ...(Qs. al-Ma`idah [5]: 105)
5)      Mashdar sebagai pengganti fi’il. Contoh:
فَإِذَا لَقِيتُمُ الَّذِينَ كَفَرُوا فَضَرْبَ الرِّقَابِ...(Qs. Muhammad [47]: 4)
6)      Kalimat khabari (berita) dengan makna insya`i (perintah). Contoh:
إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَالَّذِينَ هَاجَرُوا وَجَاهَدُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ أُولَئِكَ يَرْجُونَ رَحْمَةَ اللَّهِ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ
(Qs. al-Baqarah [2]: 218)

2.      Bentuk-bentuk Kaidah dalam al-Amr (Perintah)
1)      Asal dari pada suatu perintah itu merupakan kewajiban.
الأَصْلُ فِي الأَمْرِ لِلْوُجُوْبِ
Kaidah ini memberikan keterangan bahwa nilai suatu perintah itu merupakan kewajiban. Dalam bahasan ilmu fikih, sesuatu yang berhukum wajib mendapatkan konsekuensi pahala apabila mengerjakannya, sedangkan apabila ditinggalkan mendapatkan dosa. Dengan demikian, suatu kewajiban–tidak bisa tidak–harus dilaksanakan oleh objek penerima perintah (mukallaf). Contoh penerapan dari kaidah di atas adalah sebagai berikut:
شَرَعَ لَكُمْ مِنَ الدِّينِ مَا وَصَّى بِهِ نُوحًا وَالَّذِي أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ وَمَا وَصَّيْنَا بِهِ إِبْرَاهِيمَ وَمُوسَى وَعِيسَى أَنْ أَقِيمُوا الدِّينَ وَلا تَتَفَرَّقُوا فِيهِ كَبُرَ عَلَى الْمُشْرِكِينَ مَا تَدْعُوهُمْ إِلَيْهِ اللَّهُ يَجْتَبِي إِلَيْهِ مَنْ يَشَاءُ وَيَهْدِي إِلَيْهِ مَنْ يُنِيبُ
“Dia telah mensyariatkan kamu tentang din apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu: Tegakkanlah din dan janganlah kamu berpecah belah di dalamnya. Sangat berat bagi orang-orang musyrik terhadap din yang kamu serukan kepada mereka. Allah memilih kepada din itu orang yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada (din)-Nya orang yang kembali (kepada-Nya).” (Qs. al-Syura [42]: 13)
Dalam ayat di atas, mengandung kalimat aqimuddin yang berarti perintah Allah swt kepada seluruh manusia untuk menegakkan din. Sebagaimana pula Allah swt telah memerintahkan kepada Ulul ‘Azmi (rasul/petugas yang memiliki tekad kuat). Dengan demikian dapat dipahami bahwa perintah aqimuddin harus dilaksanakan karena ini berupa tuntutan dari Allah swt sebagai atasan kepada seluruh manusia sebagai bawahan. Hanya saja manusia yang akan memenuhi perintah ini adalah orang-orang yang berkarakter Ulul ‘Azmi dalam pengertian manusia terpilih ini adalah kader ideologis yang progressif, istiqamah dan muwahhidsebagai pelanjut kader-kader pendahulunya. Jika manusia merasa berat dalam melaksanakan perintah aqimuddin berarti manusia tersebut termasuk golongan orang-orang musyrik yang senantiasa melakukan perpecahan.
2)      Asal dari pada suatu perintah itu tidak membutuhkan pengulangan.
الأَصْلُ فِي الأَمْرِ لَا يَقْتَضِي التِّكْرَارَ
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يُوسُفَ أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنْ يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ قَالَ سَمِعْتُ أَبَا الْحُبَابِ سَعِيدَ بْنَ يَسَارٍ يَقُولُ سَمِعْتُ أَبَا هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ يَقُولُ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أُمِرْتُ بِقَرْيَةٍ تَأْكُلُ الْقُرَى يَقُولُونَ يَثْرِبُ وَهِيَ الْمَدِينَةُ تَنْفِي النَّاسَ كَمَا يَنْفِي الْكِيرُ خَبَثَ الْحَدِيدِ. رواه البخاري
Abu Hurairah ra berkata, Rasulullah bersabda, "Saya diperintahkan untuk mendirikan suatu tempat yang akan menguasai tempat-tempat yang lain, dahulu mereka menamakannya Yatsrib dan mulai hari ini dirubah menjadi Madinah, yang meniadakan manusia (yang buruk) sebagaimana ubupan (embusan tukang besi) meniadakan kotoran besi." (HR. Bukhari)
Menurut Ibnu Hajar al-Asqalani dalam Kitab Fath al-Bari, terdapat perbedaan para ulama mengenai kapan hadis ini muncul apakah di Mekkah atau di Madinah. Tetapi jika dilihat dari susunan redaksi dan tujuan maknanya boleh jadi hadis ini terbit ketika masa awal Madinah, sedangkan dalam kajian sirah nabawiyyah hadits ini terbit ketika di Quba. Karena di dalam matan tersebut secara jelas menggambarkan visi dan misi Rasulullah saw dalam rangka melaksanakan aqimuddin. Setelah melalui tahapan syakhsiyah thayyibah dan usrah thayyibahdi Mekkah maka Rasulullah saw melanjutkan tahapan berikutnya yaitu membangun qaryah thayyibah sebagai basis teritorial atau tujuan antara dalam rangka menuju program jangka panjang yaitu baldah thayyibah dan khilafah thayyibah.
3)      Asal dari pada suatu perintah itu harus segera dilaksanakan.
الأَصْلُ فِي الأَمْرِ يَقْتَضِي الفَوْرَ
انْفِرُوا خِفَافًا وَثِقَالا وَجَاهِدُوا بِأَمْوَالِكُمْ وَأَنْفُسِكُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ
“Berangkatlah kamu, baik dalam keadaan merasa ringan atau pun merasa berat, dan berjihadlah dengan harta dan dirimu di jalan Allah. Yang demikian itu adalah lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (Qs. al-Taubah [9]: 41)
Berdasarkan sabab al-nuzul ayat di atas berkaitan dengan seputar Perang Tabuk. Pada saat itu iklim begitu terik dan logistik dalam keadaan kurang padahal jarak yang ditempuh begitu jauh, ditambah lagi dengan ketidakpastian apa yang akan terjadi di Tabuk karena pasukan yang akan dihadapi adalah pasukan besar Romawi yang berjumlah kurang lebih 40.000. Kondisi seperti ini menimbulkan keluhan dan sikap yang enggan untuk melaksanakan seruan Rasulullah saw guna pergi ke Tabuk bahkan mereka sebaliknya meminta izin kepada Rasulullah saw untuk tidak ikut berperang bersamanya. Alasan yang dikemukakan oleh orang-orang yang demikian itu adalah pekerjaan dan kesibukan-kesibukan lainnya. Rasulullah saw kemudian mengizinkan beberapa diantaranya, walaupun di belakang hari keputusan Rasulullah saw ini ditegur oleh Allah swt.
Bila sabab al-nuzul ini diterapkan dalam memahami lafazh ayat di atas akan dapat diambil kesimpulan bahwa perintah untuk berangkat melaksanakan tugas tersebut bersifat segera, walaupun dalam keadaan ringan ataupun berat. Bahkan alasan apapun tidak dapat diterima karena pada ayat berikutnya dikatakan bahwa orang-orang yang beriman kepada Allah swt dan hari akhir tidak akan meminta izin dan ditegaskan pula orang yang meminta izin itu adalah orang yang tidak beriman kepada Allah swt dan hari akhir serta dalam hati mereka terdapat keraguan. Seandainya orang yang meminta izin itu mempersiapkan diri dan ikut berperang, keberadaannya tidak akan menambah kekuatan malah sebaliknya akan melakukan kekacauan.
4)      Perintah mengenai sesuatu hal memerintahkan juga atas terpenuhinya sarana (wasilah) yang menjadi syarat terlaksananya perintah tersebut.
الأَمْرُ بِالشَّيْءِ أَمْرٌ بِوَسَائِلِهِ
وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُونَ لِيَنْفِرُوا كَافَّةً فَلَوْلَا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِنْهُمْ طَائِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ وَلِيُنْذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ
“Tidak sepatutnya bagi orang-orang yang mukmin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan diantara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.” (Qs. al-Taubah [9]: 122)
Ayat di atas dalam kacamata ushuliyyah termasuk yang memiliki shighat amr dalam bentuk khabariyyah (berita) yang mengandung arti insya`iyyah(perintah). Hal ini berarti apa yang terkandung dalam penjelasan ayat di atas merupakan sebuah perintah. Kandungan ayat di atas adalah perintah untuk membentuk sebuah kelompok khusus atau lembaga yang bertugas mendalami din guna memberi peringatan kepada warganya agar mereka berada pada jalan yang benar. Dalam rangka memenuhi perintah yang dimaksud tentunya memerlukan sarana dan prasarana yang menunjang terlaksananya perintah tersebut, seperti dana, tempat dan unsur penunjang lainnya. Jika sarana dan prasarana yang dimaksud tidak terpenuhi maka perintah tersebut tidak dapat dilaksanakan sebagaimana harus dan mestinya. Oleh karena itu, perintah membentuk kelompok khusus yang akan memperdalam dinberarti pula perintah menyediakan sarana dan prasarananya.

5)      Perintah mengenai suatu hal merupakan larangan untuk hal yang menjadi kebalikannya.
الأَمْرُ بِالشَّيْءِ نَهْيٌ عَنْ ضِدِّهِ
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ إِنَّ اللَّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ سَمِيعًا بَصِيرًا
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (Qs. al-Nisâ` [4]: 58)
Dalam ayat di atas, Allah swt memerintahkan kepada para pemimpin agar memberikan amanah/tugas kepada ahlinya–orang yang memiliki kompetensi. Dengan demikian, ayat inipun melarang untuk memberikan amanah/tugas kepada yang bukan ahlinya–tidak kompeten. Hal ini dapat dipahami bahwasanya dari petugas yang berkompeten itulah akan berdampak kepada lahirnya keputusan-keputusan yang adil (sesuai dengan petunjuk) sehingga berpengaruh terhadap tercapainya keberhasilan. Apabila yang terjadi adalah sebaliknya maka dikhawatirkan akan timbul keputusan-keputusan yang menyimpang yang pada akhirnya akan berdampak kepada terjadinya kehancuran. Pola korelatif seperti itu diperkuat oleh hadis Rasulullah saw,
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ... فَإِذَا ضُيِّعَتِ الْأَمَانَةُ فَانْتَظِرِ السَّاعَةَ قَالَ كَيْفَ إِضَاعَتُهَا قَالَ إِذَا وُسِّدَ الْأَمْرُ إِلَى غَيْرِ أَهْلِهِ فَانْتَظِرِ السَّاعَةَ (رواه البخاري)
Dari Abu Hurairah, bahwasanya Nabi saw bersabda: ...‘Apabila amanat itu telah disia-siakan, maka nantikanlah kehancuran’. Orang badui bertanya, ‘Bagaimana menyia-nyiakannya?’ Rasulullah menjawab: ‘Apabila perkara (urusan) diserahkan kepada selain ahlinya, maka nantikanlah kehancuran’. (HR. Bukhari)
6)      Apabila perintah telah dilaksanakan sebagaimana harus dan mestinya, maka mukallaf–objek perintah–akan keluar dari kewajiban perintah tersebut.
إِذَا فُعِلَ المَأْمُوْرُ بِهِ عَلَى وَجْهِهِ يَخْرُجُ المَأْمُوْرُ عَنْ عُهْدَةِ الأَمْرِ
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلَاةِ مِن يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَّكُمْ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ . فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلَاةُ فَانتَشِرُوا فِي الْأَرْضِ وَابْتَغُوا مِن فَضْلِ اللَّهِ وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيراً لَّعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ . وَإِذَا رَأَوْا تِجَارَةً أَوْ لَهْواً انفَضُّوا إِلَيْهَا وَتَرَكُوكَ قَائِماً قُلْ مَا عِندَ اللَّهِ خَيْرٌ مِّنَ اللَّهْوِ وَمِنَ التِّجَارَةِ وَاللَّهُ خَيْرُ الرَّازِقِينَ
“Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum'at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah sebanyak-banyaknya supaya kamu beruntung. Dan apabila mereka melihat perniagaan atau permainan, mereka bubar untuk menuju kepadanya dan mereka tinggalkan kamu sedang berdiri (berkhotbah). Katakanlah: "Apa yang di sisi Allah lebih baik daripada permainan dan perniagaan", dan Allah Sebaik-baik Pemberi rizqi.” (Qs. al-Jumu’ah [62]: 9-11)
Dalam ayat di atas, terdapat beberapa shighat amr yang pada intinya mengenai dua hal yang berkaitan dengan yaum al-jum’ah. Hal pertama adalah berkaitan tentang kewajiban menghadiri shalat Jumat dan hal kedua adalah berkaitan dengan pelaksanaan pesan khutbah Jumat sebagai bentuk mencari karunia Allah swt guna menuju keberuntungan. Dalam kacamata historis shalat Jumat merupakan media sosialisasi program mingguan yang dilakukan oleh Rasulullah saw dalam menyikapi permasalahan-permasalahan umat.
Mengingat pentingnya sosialisasi tersebut yang berdampak kepada pencapaian karunia Allah swt guna menuju keberuntungan maka sudah menjadi kewajiban bagi setiap mukmin untuk segera menghadirinya dengan penuh keikhlasan dan keseriusan. Karena begitu pentingnya nilai sosialisasi tersebut sehingga harus mengesampingkan urusan-urusan duniawi. Maka dari itu, kehadiran setiap mukmin dalam shalat Jumat ini sangat ditekankan sehingga apabila tidak hadir selama tiga kali berturut-turut tanpa udzur syar’i, akan mengakibatkan terkunci hatinya dari rahmat dan karunia Allah swt, bahkan Rasulullah saw mengancam akan membakar rumah-rumah mereka yang tidak menghadiri jumat. Sebagaimana hal ini ditegaskan dalam keterangan berikut ini:
عَنْ أَبِي الْجَعْدِ الضَّمْرِيِّ وَكَانَ لَهُ صُحْبَةٌ قَالَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ تَرَكَ الْجُمُعَةَ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ تَهَاوُنًا بِهَا طُبِعَ عَلَى قَلْبِهِ (رواه الترمذي و ابن ماجه)
Dari Abu al-Ja’d al-Dhamri, ia pernah bersama Nabi saw berkata, Nabi saw bersabda: “Barangsiapa yang meninggalkan shalat Jumat tiga kali karena menganggapnya sepele (dalam riwayat yang lain ‘tanpa udzur syar’i’), maka hatinya akan terkunci.” (HR. al-Tirmidzi dan Ibnu Majah)
عَنْ أَبِي الْأَحْوَصِ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لِقَوْمٍ يَتَخَلَّفُونَ عَنْ الْجُمُعَةِ لَقَدْ هَمَمْتُ أَنْ آمُرَ رَجُلًا يُصَلِّي بِالنَّاسِ ثُمَّ أُحَرِّقَ عَلَى رِجَالٍ يَتَخَلَّفُونَ عَنْ الْجُمُعَةِ بُيُوتَهُمْ. رواه أحمد
Dari Abul Ahwash dari Abdullah bahwasanya Nabi Saw bersabda kepada kaum yang tidak menghadiri Jumat, “Sungguh aku hendak memerintahkan seseorang untuk mengimami shalat, sementara aku akan membakar rumah-rumah orang yang tidak menghadiri Jumat.” (HR.Ahmad)
Selanjutnya setelah sosialisasi program dilaksanakan, setiap mukmin hendaknya bertebaran dan kembali pulang ke tempatnya masing-masing untuk bekerja melaksanakan program guna meraih kurnia Allah swt dengan senantiasa mengingat program Allah swt yang telah disosialisasikan. Namun pada akhirnya ada saja di antara mereka yang terlalaikan oleh godaan duniawi yang semu, membuat mereka lupa akan hakikat kehidupan bahwasanya semua makhluk akan diberikan rizki oleh Allah Swt menurut kehendak-Nya.
Berkenaan dengan kaidah di atas dapat dipahami bahwa apabila seorang mu`min telah memenuhi perintah-perintah sebagaimana dalam ayat di atas, maka ia telah terbebas dari kewajiban tersebut.
_والله أعلم بالصواب _

AKHLAQ MUKMIN SEJATI...
Siang bagaikan Singa, Malam bagaikan Rahib...
Jika kita tidur siang hari,
Maka kita telah mengabaikan hak orang banyak.
Jika kita tidur di malam hari tanpa melaksanakan Qiyamul Lail,
Maka kita telah mengabaikan hak Sang Pencipta.

By: ibnu el-goruty (iqbal al-husaeni)


Posting Komentar

Google Anda

facebook 1.1k

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.
Javascript DisablePlease Enable Javascript To See All Widget