Halloween Costume ideas 2015

Aborsi dalam Prespektif Ulama Kontemporer Oleh Muhammad Fazal Himam

Aborsi dalam Prespektif Ulama Kontemporer
Aborsi sering kali identik dengan kejahatan. Pelaku aborsi biasanya adalah remaja yang tidak menginginkan kehamilan karena bayi yang dikandungnya berada dalam status ilegal (di luar nikah). Para ulama sepakat memberikan hukum haram kepada pelaku aborsi dan memasukkannya dalam kategori tindak pidana pembunuhan. Bedanya, hukuman bagi pelaku aborsi tidak dengan qisas karena bayi yang digugurkan belum berbentuk manusia yang telah lahir.
Dalam perkembangannya, aborsi tidak hanya dilakukan secara ilegal. Para dokter terkadang menemukan gejala kelainan pada janin, yang jika tidak digugurkan maka akan berpotensi membahayakan keselamatan ibu yang mengandungnya. Untuk masalah ini, para fukaha sepertinya banyak yang mempunyai pandangan untuk membolehkan aborsi. Dengan catatan, janin yang dikandung belum sampai pada usia 120 hari, usia di mana janin telah mempunyai jantung untuk berdetak menandakan telah ditiupkannya nyawa untuknya.
Lalu bagaimana jika janin bermasalah telah mencapai usia 120 hari, dan di saat yang sama berpotensi membahayakan keslamatan ibunya? Para pakar fikih mempunyai pandangan beragam untuk memberikan status hukum aborsi yang semacam ini.
Ibnu Abidin berpendapat, aborsi yang dilakukan seorang dokter dengan dalih menyelamatkan nyawa seorang ibu tidak bisa dibenarkan dalam Islam. Hal ini karena, kematian ibu yang disebabkan janin yang bermasalah hanyalah berupa dugaan, dan kehidupan bayi setelah usia kehamilan 120 hari merupakan hal yang pasti. Dengan demikian, tidak dibenarkan untuk membunuh bayi hanya karena dugaan. Alasan lain mengapa aborsi dalam kondisi seperti ini tetap tidak dibenarkan adalah karena keduanya hidup dan mempunyai nyawa. Dalam syariat Islam, tidak dibenarkan menghidupkan satu nyawa dengan cara membunuh nyawa lainnya.
Pendapat ini disanggah oleh Deputi Grand Syaikh Al-Azhar DR. Abbas Syauman. Beliau berkomentar, hukum semacam ini tidak bisa berlaku di masa sekarang dengan majunya ilmu kedokteran. Kematian seorang ibu karena janin yang bermasalah bisa secara akurat melalui perkembangan teknologi yang ada.
Sejalan dengan pendapat ini, Grand Syaikh Al-Azhar Mahmud Syaltut pernah merumuskan hukum yang sama melalui kaidah fikih, melalukan kerusakan yang paling ringan diantara dua kerusakan (irtikâb akhaffi al-Drararain), atau dalam bahasa Jalaluddin Al-Suyuthi, Idzâ ta’ârada al-mafsadatâni rû’iya a’dzamuhuma bi irtikâbi akhaffihimâ (jika ada pertentangan antara dua kerusakan, maka harus diutamakan untuk menjaga kerusakan yang paling besar dengan melakukan kerusakan yang paling ringan). Seorang ibu merupakan asal dan janin merupakan bagian dari ibu. Maka, menyelamatkan ibu lebih utama dari pada menyelamatkan janin. Selain itu, seorang ibu mempunyai bagian penting dalam kehidupan rumah tangga. Maka tidak rasional, menyelamatkan bayi dengan mengorbankan seorang ibu. Grand Syaikh membalik logika Ibnu Abidin dengan pendapat, kehidupan ibu merupakan hal yang pasti dan kehidupan bayi merupakan hal masih dalam kemungkinan. Dengan demikian, mendahulukan hal yang masih dalam kemungkinan untuk hal yang telah pasti merupakan keputusan yang kurang tepat. 
Alasan kedua dibolehkannya aborsi dalam kondisi semacam ini adalah adanya sebuah hadis “tidak mendapatkan hukum qisas seorang ayah yang membunuh anaknya”. Hadis ini mengandung signifikansi makna bahwa seorang ayah menjadi sebab adanya seorang anak, bukan sebaliknya. Maka dari itu menyelamatkan bayi dengan cara membiarkan potensi kematian bagi ibu merupakan hal yang terlarang.
DR. Misbah Mutawalli, seorang dosen syari’ah Universitas Al-Azhar memberikan catatan atas hukum yang ditetapkan oleh Grand Syaikh Mahmud Syaltut. Hukum aborsi dalam kondisi ini bisa dibolehkan dengan dua syarat: pertama, keputusan untuk menggugurkan kandungan tidak cukup hanya dengan dalih kekhawatiran, namun harus didukung fakta-fakta empiris. Kedua, keputusan ini ditetapkan melalui musyawarah yang dilakukan minimal oleh dua dokter yang pakar di bidangnya.
Perbedaan pandangan hukum aborsi ini menandakan sikap kehati-hatian para ulama dalam menimbang antara kemaslahatan dan menghargai sebuah nyawa.

Muhammad Fazal Himam

Mahasiswa Universitas Al-Azhar Jurusan Tafsir    

Posting Komentar

Google Anda

facebook 1.1k

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.
Javascript DisablePlease Enable Javascript To See All Widget