Halloween Costume ideas 2015

Humanisme Tawakal Al-Ghazali

Humanisme Tawakal Al-Ghazali:

Sebuah Upaya Penggalian Tawakal Positif dari Ihya 'Ulum al-Din[1]

Oleh: Badrus sholeh

Ya Tuhanku, bagaimana aku menggantungkan urusan-urusan pada diriku,
Sedang aku telah menggantungkannya kepada Mu

Ya Tuhanku, bagaimana aku menganiaya diriku
Sedang engkau adalah penolongku

Ya tuhanku, bagaimana aku akan gagal
Sedang engkau sangat pemurah kepadaku
[Ibn 'Atha'illah]

Iftitah:

Hidup sebagai hamba Tuhan, manusia tak hanya dituntut untuk melakukan ritual-ritual suci (ibadah) sebagai manifestasi bentuk penghambaan terhadap-Nya. Manusia membutuhkan makanan dan minuman untuk mempertahankan hidupnya, untuk bisa melanggengkan ibadah kepada-Nya. Harta adalah wasilah untuk memenuhi kebutuhan manusia. Lebih dari itu, manifestasi dari kehidupan sosial islam yang humanis ada pada tolong-menolong antar sesama. Disini mencari rezeki menjadi sebuah keniscayaan bagi seorang hamba.

Dalam mencari rezeki, terdapat cabang ilmu tasawuf yang menyinggung adab mencari rezeki yang terejawantahkan dalam bab tawakal. Tawakal yang dimaknai sebagi pasrah dan berserah diri atas rezeki yang dikehendaki Tuhan dalam artian sempit yang mengaleinasi usaha, mempunyai dampak yang sangat besar pada aktifitas kehidupan bersosial manusia. Pemahaman seperti ini akan berimbas pada mengendornya etos kerja umat. Menyeret manusia pada arus kemalasan. Tidur dengan tenang sambil berujar: "Bukankah rezeki ada di tangan Tuhan? Biarlah rezeki itu datang kepadaku".  Tentu saja pemaknaan seperti hal diatas hanya akan berujung pada stigma tasawuf secara umum dan tawakal terlebih khususnya sebagai aspek yang menjadikan ekonomi melorot serta melengserkan umat islam dari kemajuan peradaban.

Akan kita temukan sebuah persepektif yang mengherankan pada pembahasan tawakal Al-Ghazali di kitabnya Minhaj al-'Abidin. Ketika beliau ditanya: "Apakah seorang hamba harus mencari rezeki dengan perantara-perantara (melalui kerja)?" Beliau menjawab: "Seorang hamba tidak perlu mencari sebab-sebab rezekinya. Karena Allah memberikannya dengan sebab ataupun tanpa sebab. Allah telah menjamin rezekimu secara mutlak tanpa persyaratan harus melalui sebab. Seperti firman Allah; Wa ma min daabah illa ala Allah rizquha (Tidaklah setiap makhluk yang berjalan di atas bumi kecuali dicukupkan rezekinya oleh Allah).  Disini Allah telah jelas membagi rezeki kepada tiap makhluknya, walaupun binatang melata sekalipun. bagaimana kita akan mencari sebab yang belum pasti akan mengantarkan kepada rezeki kita? Bukankah pada setiap usaha yang kita lakukan belum tentu pasti menjadikan rezeki kita?"[2]

Sesimpel itukah pemahaman Al-Ghazalitentang konsep tawakal? Apa yang mendasari sang imam  memberikan statemen demikian? Untuk itulah penulis mencoba menelusurinya dan mencoba mengkomparasikannya pada pembahasan tawakal di kitab Ihya 'Ulum al-Din . Dan salah satu tujuan dari tulisan singkat ini adalah memberikan definisi dan pengertian dari tawakal yang pada porsinya, tawakal positif yang humanis dari persepektif hujjatul islam Al-Ghazali.

Salah seorang teosof islam yang brilian dalam banyak bidang ilmu ini, membahas tawakal dengan apik pada kitabnya Ihya 'Ulum al-Din. Melalui perjalan mencari ilmu yang cukup panjang, imam Ghazali tergolong seorang ahli yang berhasil mensistematiskan kajian tawakal dalam magnum opus nya tersebut yang dianggap termasuk kitab yang cukup otoritatif dalam kajian bidang tasawuf. Penulis sengaja mengkonsentrasikan pembahasan pada kitab ini atas pertimbangan pembahasan tawakal pada Ihya 'Ulum al-Din dirasa cukup representatif dengan pembahasan yang lebih panjang daripada karangan-karangan Al-Ghazali yang lain. Termasuk kitabnya Minhaj al-'Abidin sendiri yang membahas tawakal hanya sepuluh halaman. Begitu pentingnya kedudukan kitab Ihya, dengan hiperbola sampai dikatakan: "Man lam yaqra al-Ihya falaysa min al-Ahya" (Barang siapa orang yang belum membaca kitab Ihya, maka dia belum dianggap manusia seutuhnya)

Hal yang patut untuk disorot dalam satu perhatian khusus adalah keterikatan tawakal dengan tauhid. Bahkan, secara radikal Al-Ghazali menjadikan tauhid adalah asal, pokok dan inti dari tawakal itu sendiri. Rahasia tawakal berada pada asas tauhid. Jika demikian, tauhid yang bagaimanakah yang menjadi landasan dari tawakal?

Imam Ghazali membedah jantung tawakal dan menjadikannya termasuk bagian dari iman. Sebagaimana iman yang terdiri dari ilmu, keadaan dan amal, tawakal yang merupakan bagian darinya pun terdiri dari ilmu , keadaan dan amal. Dan tauhid yang merupakan asas tawakal masih berada pada tataran ilmu yang ada pada pembahasan tawakal.

Tauhid sebagai pondasi dasar tawakal

Hemat Al-Ghazali, tauhid terdiri dari kulit luar (Qasyrah al-Qasyrah), kulit dalam (Qasyrah), inti ( Lubb )  dan yang paling inti (Lubb al-Lubb). Secara ringkas, tingkatan kulit luar dapat dilihat sebagaimana keimanan orang munafik. Keimanan hanya terbatas samapi mulut. Taraf iman munafik ini bisa menyelamatkannya dari incaran pedang pada kondisi terancam. Orang munafik bisa mempertahankan hidupnya hanya dengan menyatakan iman melalui lisan sedangkan hatinya mengingkari. Jelas sekali bahwa iman seperti ini tak mempunyai faedah pada pembahasan tawakal.[3]

Tingkatan berikutnya adalah tingkatan yang lebih dalam dari keimanan yang pertama. Keimanan yang ke dua ini adalah keimanan yang terdapat pada kebanyakan orang awam. Selain lisannya menyatakan keimanan, hatinya pun turut meyakini apa yang diikrarkan tanpa adanya secuil kebohongan hati dan pengingkaran. Jenis keimanan seperti ini, tidak merambah lebih jauh sampai derajat yang ke tiga. akan tetapi sudah bisa menyelamatkan sang empu ini dari azab akhirat ketika meninggal dalam keadaan tersebut.[4]

Di dalam keimanan ini terdapat dua potensi kekuatan. Potensi pertama berupa keragu-raguan hati untuk melemahkan ketetapan hati tersebut dengan mengurai masalah-masalah yang berkaitan dengannya. Al-Ghazali menyebut potensi negatif seperti ini sebagai bid'ah dengan pelakunya sebagai mubtadi' (pembuat bid'ah). Sedangkan potensi yang kedua adalah kebalikan dari potensi yang pertama dengan tujuan mempertahankan keimanan seseorang tersebut bersenjatakan  kalam (dialog). Kemudian kita menyebut orang yang ahli dalam mempertahankan akidah seperti  ini adalah mutakallim. Potensi yang dimilki mutakalliminilah yang diperlukan oleh seorang hamba yang sedang dalam keraguan (mubtadi').[5]

Sedikit keterangan yang penulis sebutkan diatas adalah sebuah bentuk catatan kecil bahwa selain orang awam, para mutakallimin pun keimanannya berada pada tingkatan keimanan ini. Adalah sebuah bentuk pensejajaran antara orang awam dan ahli kalam. Sedangkan keterkaiatannya dengan tawakal, pemahaman tauhid jenis ke dua ini dirasa masih belum tentu mengantarkan seorang hamba untuk mencapai derajat tawakal. Masih diperlukan sebuah bentuk keimanan lain yang bisa menjembatani manusia menuju tawakal.

Tingkatan yang ke tiga adalah inti. Tingkatan inti inilah yang merupakan asas pokok dari tawakal. Yaitu suatu kondisi keimanan yang walaupun secara harfiah subjek melihat seluruh benda yang ada pada tataran kosmos ini sangatlah banyak, akan tetapi, melalui bantuan cahaya kebenaran (nur al-haq)[6] sehingga terjadilah sebuah penyingkapan (thariq al-kasyaf), si pemilik keimanan ini melihat banyaknya benda-benda ini bersumber dari satu, Tuhan semesta alam. Artinya , jika kebenaran  itu telah terbuka, akan kita dapati bahwa Tuhanlah pelaku (fa'il) dari seluruh kejadian alam raya. Orang tersebut pun tidak melihat selainNya sebagai subjek hakiki.[7]

Hal inilah yang akan menjadi efek dan dampak dari tersingkapnya hati dari pemahaman makna hakikat. Dan pada tataran ini, seorang hamba baru bisa mencapai tawakal. Bagaimana pemaknaan seperti ini akan menghasilkan suatu keadaan tawakal? Akan kita dapatkan jawabannya pada keadaan orang-orang yang bertawakal.

Yang terakhir merupakan tingkatan para Shiddiqin yang melihat seluruh jagat raya pada satu kesatuan entitas Tuhan. Dimensi tasawuf menyebutnya sebagai konsep ketiadaan dalam penyatuan (al-fana' fi al-tauhid). Inilah yang disebut Al-Ghazalisebagai tujuan utama pada tauhid. Hal ini menunjukkan adanya indikasi penerimaan Al-Ghazali terhadap konsep wihdatul  wujud Ibnu 'Araby. Walaupun beliau lebih senang menyebutnya dengan al-fana' fi tauhid. Ketika ditanya tentang bagaimana penjelasan tentang konsep ini, Al-Ghazalitak mau merincinya. Sebab, konsep ini merupakan bagian dari ilmu mukasyafah. Sedangkan ilmu mukasyafahsendiri tidak diperkenankan untuk menuliskannya pada sebuah kitab (baca: menyebarluaskan). Orang-orang yang mengetahui Tuhan (al-'arifiin billah) pun berkata: "menyebarluaskan rahasia-rahasia Tuhan adalah kafir"[8]

Sudah barang tentu keimanan ini bukan keimanan yang kita maksud. Walaupun sejatinya iman seperti ini merupakan tingkatan yang lebih tinggi dari tingkatan ke tiga, tetap saja kita tak perlu lebih dalam masuk ke dalamnya. Karena sudah menjadi rahasia umum, bahwa tingkatan para shiddiqin ini mengandalkan inutisi hati untuk menyingkapnya. Dimana setiap orang punya pengalaman-pengalamn pribadi perihal mukasyafah.

Sebagaimana yang telah sedikit disingggung diatas, jenis ketiga merupakan pondasi dan asas dasar dari tawakal. Dengan meyakini bahwa subjek hakiki dari seluruh tataran alam adalah Tuhan semata,  maka akan timbul suatu keadaan dimana diri ini sangat rendah, hina dan tak mempunyai apa-apa. Yang berujung pada rasa takut, pengharapan dan kepasrahan diri kepada dzat yang maha kaya-maha penguasa, tanpa membutuhkan sedikitpun ketergantungan pada selain-Nya.

Keadaan tauhid yang seperti inilah yang akan mengantarkan seorang hamba menuju pintu mukasyafahmenuju Tuhan. Sedangkan kebanyakan orang awam tidak mengetahuinya dengan terkecoh oleh tipu-rayu syetan, berupa ketergantungan pada selainnya yang akan menyebabakan bentuk kemusyrikan tauhid. Seperti menyandarkan masa panen pada turunnya hujan.

Sering dilupakan oleh khalayak ramai, bahwa hujan tidak terjadi secara instant. Sebelum turunya hujan, terjadi suatu proses alam yang dimulai dari cuaca panas yang akan menjadikan air laut menguap dan mengumpul menjadi awan-awan yang bermuatan air dan kemudian akan menjadi sebuah hujan setelah beberapa reaksi kimia dan fisika pada alam. Air laut tidak bisa menguap sekehandaknya sendiri sembari berujar: "jika aku ingin menguap, aku akan menguap, dan jika aku tidak ingin menguap, maka aku tidak akan menguap." Akan tetapi  Semua proses tersebut tunduk pada hukum yang telah ditetapkan Tuhan pada alam. Sejatinya, Tuhanlah sang penggerak seluruh kejadian alam melalui hukum yang ditetapkan pada alam. Imam Ghazali mengkategorikan gerak benda-benda mati seperti dengan sebutan al-fi'lu al-idhtirory.[9]

Dengan demikian, sudah barang tentu tak layak untuk menggantungkan sesuatu pada makhluk yang tunduk pada hukum Tuhan. kebergantungan sejati adalah kebergantungan pada dzat penunduk segala yang terhampar pada bumi dan langit.

Sedikit uraian diatas menjelaskan ketidakberdayaan benda mati di hadapan kekuasaan Tuhan. Bagaimana dengan ketergantungan pada manusia? Karena manusia mempunyai kehendak dan berhak memilih untuk memberi atau menahan suatu rezeki pada orang lain.  tentu akan berbeda pada benda-benda mati yang mutlak patuh dan tunduk pada hukum tuhan yang ditetapkan pada mereka. Maka, perlulah kiranya untuk sedikit menjelaskan bagaimana perbuatan dan aksi  manusia (af'alul ibad).


Ikhtitam

Walaupun genre Ihya 'Ulum al-Din adalah tasawuf yang cenderung berkonsentrasi pada keimanan yang kuat kepada Allah, bukan berarti tawakal pada sisi ini menafikan sisi kemanusian atau humanisme. Al-Ghazali justru mendasari isme ini melalui pendekatan iman. Dengan berdasar pada asas keimanan, murid kesayangan Imam al-Haramain al-Juwaini ini bermaksud menjadikan iman tersebut menjadi jalan utama terciptanya kesadaran hak-hak dan kewajiban manusia sebagai makhluk sosial.

Terlebih, setelah perjalanan panjang mencari kebenaran dari ilmu kalam, filsafat dan golongan bathiniah, imam Ghazali menyatakan bahwa tasawuf merupakan jalan yang paling layak ditempuh oleh para pencari kebenaran sejati.

Wallahu ta'ala a'la wa a'lam.




[1] Makalah ini dipresentasikan pada kajian regular Ghazalian center tanggal 11 november 2010 yang akan bertepatan pada hari jadi Ghazalian center yang ke-tiga.
[2]Al-Ghazali, Minhaj al-'Abidin, al-Hikmah li Thaba'ah wa Nasr, Damaskus, 2004., hal 146
[3] Al-Ghazali, Ihya 'Ulum al-Din , Dar al-Masry li al-Thaba'ah. Taba'ah munqihah, 1998. Vol IV., hal 297
[4] Ibid., hal. 298
[5] Ibid
[6]  Dalam kitabnya Misykat al-Anwar, Al-Ghazali menyebutkan bahwa nur al-haq adalah Allah. Sedangkan nur (cahaya-cahaya seperti cahaya matahari, lampu dll) yang lain merupakan penamaan dalam bentuk majaz.
[7] Al-Ghazali, Ihya 'Ulum al-Din , vol IV. Op.cit., hal 298
[8] Ibid ., hal 299 
[9] Mushtafa Abdul Jawad Imron. Al-iqtishad fi al-I'tiqad li al-imam Al-Ghazali, Dar al-Bashair, Kairo, cet I, 2009., hal 312

Posting Komentar

Google Anda

facebook 1.1k

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.
Javascript DisablePlease Enable Javascript To See All Widget