Halloween Costume ideas 2015

HUKUM AKAD SEWA-MENYEWA

HUKUM AKAD SEWA-MENYEWA
Aidillah
Ahli fiqih dalam berbagai madzhab telah menegaskan bahwa akad sewa-menyewa adalah akad yang dibenarkan dalam syari’at. Dan bahkan ia termasuk satu akad yang telah dijalankan oleh para nabi sejak zaman dahulu kala. Sebagai buktinya simaklah firman Allah Ta’ala berikut :
قال إنى أريد أن أنكحك إحدى ابنتى هتين على أن تأجرنى حجج فإن أتممت عشرافمن عندك وما أريد أن أشق عليك ستجد نى إن شاءاللة من الصالحين
“Berkatalah dia (Syu’aib): “Sesungguhnya Aku bermaksud menikahkan kamu dengan salah seorang dari kedua anakku ini, atas dasar bahwa kamu bekerja denganku delapan tahun dan jika kamu cukupkan sepuluh tahun Maka itu adalah (suatu kebaikan) dari kamu, Maka Aku tidak hendak memberati kamu. dan kamu insya Allah akan mendapatiku termasuk orang- orang yang baik”.[Al-Qashash ; 27]
Dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga pernah menjalankan akad ini, diantaranya ketika berhijrah, beliau menyewa seorang lelaki dari Bani Diel, sebagai penunjuk jalan dari kota Makkah menuju ke kota Madinah. Kisah ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan juga ulama lainnya, terlebih yang menuliskan siroh beliau.
Ibnu Rusyd al-Maliki berkata, “Seluruh ulama di berbagai belahan bumi dan juga ulama-ulama generasi pertama umat, Islam sepakat untuk membolehkan akad sewa-menyewa. Jadi secara logika, akad sewa adalah solusi tepat bagi terjadinya hubungan yang adil antara pemilik barang dengan penggunanya. Pemilik barang mendapatkan imbalan atas kegunaan barangnya, sebagaimana penyewa berhak mendapatkan kegunaan barang sewaannya dalam batas waktu yang disepakati.
Andai pemilik barang dipaksa meminjamkan barangnya kepada yang membutuhkan tanpa ada imbalan sedikit pun, tentu ini sangat menyusahkannya. Sebagaimana ide ini mendorong masyarakat untuk bersikap malas, karena merasa memiliki peluang untuk menggunakan barang milik orang lain.
Sebaliknya pun demikian, bila setiap orang diwajibkan memiliki barang, dan tidak boleh menyewa, tentu sangat merepotkan. Betapa banyak orang yang tidak mampu memiliki rumah, kendaraan, berbagai peralatan, dan lainnya secara sendiri. Tentu kondisi semacam ini sungguh menyulitkan kebanyakan orang. Dengan demikian, terbuktilah bahwa akad sewa-menyewa adalah solusi tepat terwujudnya hubungan yang adil antara pemilik barang dan penyewa.

KETENTUAN UANG SEWA
Telah dikemukakan bahwa sewa-menyewa adalah sarana pertukaran kepentingan antara pemilik barang dengan penyewa. Dengan membayar sejumlah imbalan penyewa berhak memanfaatkan barang, sedang sebagai imbalannya pemilik barang mendapatkan uang.
Sebagai konsekuensinya, untuk dapat menjalankan akad ini dengan benar, Anda harus mengenal apa saja yang boleh Anda jadikan sebagai “uang sewa”. Secara garis besar, ulama ahli fiqih telah menjelaskan bahwa yang dapat Anda jadikan sebagai “uang sewa” ialah segala harta yang dapat Anda perjualbelikan. Dengan demikian, berbagai persyaratan yang telah Anda ketahui tentang barang yang boleh diperdagangkan berlaku pada barang yang hendak Anda jadikan sebagai “uang sewa”.
Ibnu Rusyd al-Maliki berkata, “Adapun kententuan barang yang dapat dijadikan sebagai ‘uang sewa’ ialah segala benda yang dapat diperjual belikan, maka boleh dijadikan sebagai ‘uang sewa’.
Sebagai salah satu aplikasi langsung dari ketentuan ini, maka para ulama mengharuskan adanya kejelasan “uang sewa”. Dengan adanya kejalasan pada “uang sewa” baik nominal ataupun tempo pembayarannya, diharapkan tidak terjadi persengketaan.
Ibnu Abdil Barr rahimahullah menukilkan dari sebagian ulama yang menjelaskan bahwa hadits di atas menjadi dalil kuat bolehnya menyewakan ladang dengan “uang sewa” berupa emas, perak, segala bentuk bahan makanan dan benda lainnya asalkan jelas jumlahnya. Menurut mereka, segala barang yang dapat dijadikan sebagai “pembayaran” dalam akad jual beli, maka boleh dijadikan “uang sewa” dalam penyewaan ladang. Ketentuan ini berlaku selama barang tersebut tidak mengandung unsure gharar (ketidakpastian).
Adapun barang yang menjadi objek akad sewa, maka secara garis besar, dalam syari’at ada dua ketentuan yang harus terpenuhi:
Ø  Ketentuan Pertama: Barangnya Halal
Akad sewa-menyewa sejatinya adalah salah satu bentuk akad jual-beli, hanya saja yang diperjualbelikan ialah kegunaan barang dan bukan fisik barangnya. Imam asy-Syairazi asy-Syafi’i berkata, “Akad sewa-menyewa sejatinya adalah jual beli, dengan demikian setiap orang yang dibenarkan untuk berjual beli maka ia pun boleh untuk sewa-menyewa.”
Berangkat dari fakta ini, tidak diragukan bahwa barang-barang haram dalam syari’at, semisal babi, anjing, dan yang serupa dengannya tidak halal diperjualbelikan, baik fisiknya maupun kegunaanya.
إِنَّ اللَّهَ إِذَا حَرَّمَ عَلَى قَوْمٍ أَكْلَ شَىْءٍ حَرَّمَ عَلَيْهِمْ ثَمَنَهُ
”Sesungguhnya bila Allah telah mengharamkan atas suatu kaum untuk memakan sesuatu, pasti Dia mengharamkan pula atas mereka hasil penjualannya’’.
Keumuman hadits ini mencakup hasil penjualan fisik barang haram, dan juga penjualan fungsinya melalui akad sewa-menyewa.
Ø  Ketentuan Kedua: Disewa Untuk Tujuan Yang Halal
Harta benda dan segala yang ada pada diri Anda adalah nikmat dan karunia Allah Azza wa Jalla. Sebagai konsekuensinya, Anda berkewajiban untuk menggunakannya dengan cara-cara yang benar dan dalam batasan yang dibenarkan pula. Dengan demikian, segala nikmat Allah Ta’ala yang Anda miliki dapat menunjang terlaksananya peribadatan Anda kepada Allah Azza wa Jalla.
Anda bisa bayangkan, betapa indahnya hidup Anda bila Anda benar-benar menggunakan segala karunia Allah Azza wa Jalla guna menunjang peribadatan Anda.
نِعْمَ الْمَالُ الصَّالِحُ لِلْمَرْءِ الصَّالِح
“Sebaik-baik harta halal adalah harta yang dimiliki oleh orang yang shalih’’.
Berangkat dari prinsip ini, ulama ahli fiqih telah menegaskan akan keharaman menyewakan barang atau diri Anda untuk bekerja dalam hal-hal yang melanggar syari’at.
لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْخَمْرِ عَشْرَةً عَاصِرَهَا وَمُعْتَصِرَهَا وَشَارِبَهَا وَحَامِلَهَا وَالْمَحْمُولَةُ إِلَيْهِ وَسَاقِيَهَا وَبَائِعَهَا وَآكِلَ ثَمَنِهَا وَالْمُشْتَرِي لَهَا وَالْمُشْتَرَاةُلَهُ
“Berkaitan dengan khamar, Rasulullah Shllallahu ‘alaihi wa sallam melaknati sepuluh kelompok orang: pemerasnya, orang yang meminta untuk diperaskan, peminumnya, pembawanya (distrbutornya), orang yang dibawakan kepadanya, penuangnya (pelayan yang menyajikan), penjualnya, pemakan hasil jualannya, pembelinya, dan orang yang dibelikan untuknya.” [Riwayat at-Tirmidzi]
Diantara bentuk sewa-menyewa yang diharamkan dalam Islam ialah menyewakan jasa perdukunan dan perzinaan. Padahal Anda pasti mengetahui bahwa Islam membolehkan menyewa seorang wanita atau lelaki untuk suatu pekerjaan yang halal. Sahabat Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu anhu menuturkan:
نَهَى النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ ثَمَنِ الْكَلْبِ، وَحُلْوَانِ الْكَاهِنِ، وَمَهْرِ الْبَغِىَ
“Nabi Shallallahu ‘aliahi wa sallam melarang hasil penjualan anjing, upah perdukunan, dan perzinaan.” [Riwayat Bukhari]
Demikianlah Setiap orang yang memiliki andil langsung atau tidak dalam perbuatan keji atau mungkar akan mempertanggungjawabkan perbuatannya baik di dunia maupun di akhirat. Yang demikian itu karena setiap pelaku kemungkaran, bila tidak mendapatkan dukungan dari seluruh orang yang ada disekitarnya, tentu tidak akan kuasa menjalankan kemungkarannya. Dan sebagai orang yang beriman, tentu Anda benci terhadap segala bentuk andil dalam kemungkaran.
BEBERAPA HUKUM DALAM SEWA-MENYEWA
Setiap bentuk akad yang dibenarkan dalam syari’at pastilah memiliki konsekuensi hukum yang berbeda-beda, tanpa terkecuali akad sewa-menyewa. Karena itu, sudah sepantasnya Anda mengenali hukum-hukum tersebut, agar Anda tidak mencapuradukkan antara satu akad dengan yang lainnya. Berikut beberapa hukum yang berlaku dalam akad sewa-menyewa:
ü  Hukum Pertama: Akad Sewa Akad Yang Mengikat
Diantara konsekuensi hukum yang harus Anda ingat selalu dalam akad sewa-menyewa ialah yang berkaitan dengan karakternya. Ulama ahli fiqih telah menjelaskan bahwa akad sewa bersifat mengikat kedua belah pihak. Dengan demikian, kedua pihak tidak dapat secara sepihak membatalkan akad sewa tanpa restu dari pihak kedua.
Ibnu Qudamah rahimahullah menegaskan hal ini dengan berkata, “Akad sewa-menyewa adalah akad yang bersifat mengikat kedua belah pihak. Dengan demikian tidak dibenarkan bagi keduanya untuk membatalkannya (kecuali atas izin pihak kedua). Demikian ditegaskan dalam madzhab Imam Malik, Syafi’I, dan Hanafi. Hal itu dikarenakan akad sewa-menyewa adalah salah satu bentuk akad tukar-menukar harta, sehingga sepantasnya bersifat mengikat kedua belah pihak, layaknya akad jual beli. Bahkan sejatinya akad sewa-menyewa adalah salah satu model dari akad jual beli’’.
ü  Hukum kedua: Kepemilikan Uang Sewa Dan Hak Guna Barang
Sebagai kelanjutan logis dari hukum pertama adalah kepemilikan pemilik barang atas “uang sewa”. Dengan tercapainya kesepakatan akad sewa-menyewa antara kedua belah pihak dan selanjutnya keduanya melangsungkan akad, maka secara otomatis pemilik barang berhak menerima dan memiliki uang sewa.
Hukum ini berlaku dan tidak dapat berubah, walaupun di kemudian waktu penyewa dengan segaja atau tidak menelantarkan barang yang telah ia sewa dan tidak memanfaatkannya.
Sebaliknya, penyewa berhak memiliki hak guna barang yang telah ia sewa, selama waktu yang telah disepakati.
ü  Hukum Ketiga: Pemanfaatan Barang Sewa
Telah dijelaskan di muka bahwa akad sewa-menyewa sejatinya adalah akad jual beli kegunaan suatu barang dalam tempo waktu tertentu. Karena penyewa secara sah telah memiliki manfaat barang, ia berhak memanfaatkan kegunaan barang sewaannya. Dan dalam pemanfaatannya ia berwenang untuk memanfaatkannya secara langsung atau melalui wakilnya atau bahkan kembali menyewakannya kepada orang lain.
Hukum ini berlaku selama cara pemanfaatan yang dilakukan oleh orang yang mewakilinya atau orang lain yang menyewanya kembali serupa dengan cara pemanfaatan penyewa pertama. Ini semua sebagai bagian dari konsekuensi kepemilikan penyewa atas kegunaan barang sewaannya. Demikianlah yang dijelaskan oleh para ahli fiqih dari berbagai madzhab.
ü  Hukum Keempat: Kerusakan Ditanggung Pemilik Barang
Ada pepatah yang menyatakan “tiada gading yang tak retak” berlaku dalam segala aspek kehidupan manusia, tanpa terkecuali pada barang yang menjadi objek akad sewa-menyewa mereka. Karena itu, ketika menjalin akad sewa-menyewa biasanya Anda memeriksa keutuhan barang sewaan Anda. Anda melakukan hal itu karena Anda khawatir bila di kemudian hari terbukti bahwa barang sewaan Anda cacat, sehingga tidak dapat Anda gunakan sebagaimana mestinya.
Walau demikian, tetap saja kerusakan dan cacat terjadi pada barang sewaan Anda. Dan bila benar-benar terjadi, maka kerusakan dan cacat menjadi tanggung jawab pemilik barang. Dengan demikian, Anda tidak dirugikan karena terhalang dari memanfaatkan barang sewaaan Anda.
Ketentuan ini berlaku selama kerusakan atau cacat terjadi tanpa ada keteledoran atau kesalahan yang Anda (penyewa) lakukan. Akan tetapi, bila kerusakan terjadi karena kesalahan Anda dalam menggunakan barang, maka Anda wajib menanggung kerugiannya.
ü  Hukum Kelima: Kesepakatan Masa Sewa
Diantara poin utama yang membedakan akad sewa dari akad jual beli ialah adanya lpembatasan masa. Pada akad jual beli, pembeli mimiliki hak selama-lamanya untuk memanfaatkan barang yang telah ia beli. Namun, pada akad sewa, penyewa hanya memiliki hak guna sebatas waktu yang disepakati. Karena itu, kesepakatan tentang masa sewa sangatlah penting bagi kedua belah pihak. Adanya kesepakatan ini masa sewa ini mencegah terjadinya sengketa antara penyewa dan pemilik barang.
Asy-Syairazi asy-Syafi’i rahimahullah menyatakan, “Akad sewa-menyewa hanya boleh dilakukan pada kegunaan barang atau pekerjaan yang jelas kadarnya. Yang demikian itu karena telah dijelaskan bahwa sejatinya sewa-menyewa adalah akad jual-beli jasa (kegunaan barang), sedangkan akad jual-beli tidak sah kecuali bila kadar barangnya jelas. Demikian pula seyogianya akad sewa-menyewa. Dan untuk mengetahui kadar jasa/kebunaan barang maka dapat dilakukan dengan menentukan bentuk pekerjaan atau masa penggunaan barang. Bila suatu jasa dapat ditentukan kadarnya secara langsung, semisal jasa menjahit baju, menjual seorang budak, mengendarai tunggangan hingga suatu temmpat, maka penentuan kadar jasa atau kegunaan barang dapat dicapai dengan menyepakati bentuk pekerjaan”



Posting Komentar

Google Anda

facebook 1.1k

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.
Javascript DisablePlease Enable Javascript To See All Widget