Halloween Costume ideas 2015
Agustus 2011

Manusia Terbaik


Karena ternyata derajat kemuliaan seseorang dapat dilihat dari sejauh mana dirinya punya nilai manfaat bagi orang lain. Rasulullah SAW dalam hal ini bersabda, ” Sebaik-baik manusia diantaramu adalah yang paling banyak manfaatnya bagi orang lain ” (HR. Bukhari).

Seakan hadits ini mengatakan bahwa jikalau ingin mengukur sejauh mana derajat kemuliaan akhlak kita, maka ukurlah sejauh mana nilai manfaat diri ini? Kalau menurut Emha Ainun Nadjib, harusnya tanyakan pada diri ini apakah kita ini manusia wajib, sunat, mubah, makhruh, atau malah manusia haram?

Apa itu Manusia Wajib?
Manusia wajib bisa ditandai jikalau adanya sangat dirindukan, sangat bermanfaat, bahkan perilakunya membuat hati orang disekitarnya tercuri. Tanda-tanda yang nampak dari seorang ‘Manusia Wajib’, diantaranya dia seorang pemalu yang jarang mengganggu orang lain, sehingga orang lain merasa aman darinya. Perilaku kesehariannya lebih banyak kebaikannya. Ucapannya senantiasa terpelihara, ia hemat betul kata-katanya, sehingga lebih banyak berbuat daripada hanya berbicara. Sedikit kesalahannya, tidak suka mencampuri yang bukan urusannya, dan sangat nikmat kalau ia berbuat kebaikan. Hari-harinya tidak lepas dari menjaga silaturahmi, sikapnya penuh wibawa, penyabar, selalu berterima kasih, penyantun, lemah lembut, bisa menahan dan mengendalikan diri, serta penuh kasih sayang. Sama sekali bukan kebiasaan bagi yang akhlaknya baik perilaku melaknat, memaki-maki, memfitnah, menggunjing, bersikap tergesa-gesa, dengki, bakhil, ataupun menghasut. Justru ia selalu berwajah cerah, ramah tamah, mencintai karena Allah, membenci karena Allah, dan marahnya pun karena Allah SWT, Subhanallah demikian indah hidupnya. Karenanya, siapapun di dekatnya pastilah akan tercuri hatinya. Kata-katanya akan senantiasa ter ngiang-ngiang. Keramahannya pun benar-benar menjadi penyejuk bagi hati yang sedang membara. Jikalau saja orang berakhlak mulia ini tidak ada, maka siapapun akan merasa kehilangan, akan terasa ada sesuatu yang kosong di rongga kalbu ini. Orang yang wajib, adanya pasti penuh manfaat dan kalau tidak ada, siapapun akan merasa kehilangan. Begitulah kurang lebih perwujudan akhlak yang baik, dan ternyata ia hanya akan lahir dari semburat kepribadian yang baik pula.
Apa itu manusia Sunah?
keberadaannya bermanfaat, tapi kalaupun tidak ada tidak tercuri hati kita. Tidak ada rongga kosong akibat rasa kehilangan. Hal ini terjadi mungkin karena kedalaman dan ketulusan amalnya belum dari lubuk hati yang paling dalam. Karena hati akan tersentuh oleh hati lagi. Seperti halnya, kalau kita berjumpa dengan orang yang berhati tulus, perilakunya benar-benar akan meresap masuk ke rongga kalbu siapapun.
Apa itu manusia Mubah?
Sedangkan Orang yang Mubah ada dan tidak adanya tidak berpengaruh. Di kantor kerja atau bolos sama saja. Seorang pemuda yang ketika ada di rumah keadaan menjadi berantakan, dan kalau tidak adapun tetap berantakan. Inilah pemuda yang mubah. Ada dan tiadanya tidak membawa manfaat, dan tidak juga membawa mudharat.


Apa itu manusia Makruh?
Adapun Orang yang Makruh, keberadaannya justru membawa mudharat dan kalau dia tidak ada tidak berpengaruh. Artinya, kalau dia datang ke suatu tempat maka orang merasa bosan atau tidak senang. Misalnya, ada seorang ayah sebelum pulang dari kantor suasana rumah sangat tenang, tetapi seketika klakson dibunyikan tanda bahwa ayah sudah datang, anak-anak malah lari ke tetangga, ibu cemas, dan pembantu pun sangat gelisah. Inilah seorang ayah yang keberadaannya menimbulkan masalah. Seorang anak yang makruh, kalau pulang sekolah justru masalah pada bermunculan, dan kalau tidak pulang suasana malah menjadi aman tentram. Ibu yang makruh diharapkan anak-anaknya untuk segera pergi arisan daripada ada di rumah. Sedangkan karyawan yang makruh, kehadirannya di tempat kerja hanya melakukan hal yang sia-sia daripada bersungguh-sungguh menunaikan tugas kerja.

Apa itu manusia haram?
Lain lagi dengan Orang bertipe Haram, keberadaannya malah dianggap menjadi musibah, sedangkan ketiadaannya justru disyukuri. Jika saja dia pergi ngantor, justru perlengkapan kantor pada hilang, maka ketika orang ini dipecat semua karyawan yang ada malah mensyukurinya. Masya Allah, tidak ada salahnya kita merenung sejenak, tanyakan pada diri ini apakah kita ini anak yang menguntungkan orang tua atau malah hanya jadi benalu saja? Masyarakat merasa mendapat manfaat tidak dengan kehadiran kita? Adanya kita di masyarakat sebagai manusia apa, wajib, sunah, mubah, makhruh, atau haram? Kenapa tiap kita masuk ruangan teman-teman malah pada menjauhi, apakah karena perilaku sombong kita?
Kepada masyarakat yag islami, hendaknya tanyakan pada diri masing-masing, apakah saudara-saudara kita sudah merasa bangga punya sayudara seperti kita? Punya manfaat tidak kita ini? Bagi setiap personal cobalah mengukur diri, saya ini seorang yang bisa diterima disetiap kalangan atau seorang gladiator? Saya ini seorang pejabat atau seorang penjahat? Kepada para mubaligh, harus bertanya? benarkah kita menyampaikan kebenaran atau hanya mencari penghargaan dan popularitas saja?
Nampaknya, saat bercermin seyogyanya tidak hanya memperhatikan wajah saja, tapi pandanglah akhlak dan perbuatan yang telah kita lakukan. Sayangnya, jarang orang berani jujur dengan tidak membohongi diri, seringnya malah merasa pinter padahal bodoh, merasa kaya padahal miskin, merasa terhormat padahal hina. Padahal untuk berakhlak baik kepada manusia, awalnya dengan berlaku jujur kepada diri sendiri.
Kalaupun mendapati orang tua kita berakhlak buruk. Sadarilah bahwa darah dagingnya melekat pada diri kita, karenanya kita harus berada di barisan paling depan untuk membelanya demi keselamatan dunia dan akhiratnya. Bagi orang tua yang belum Islam, kewajiban seorang anaklah yang bertanggung jawab mengikhtiarkannya jalan hidayah. Apabila orang tua berlumur dosa dan belum mau melakukan shalat, maka seorang anaklah yang berada pada barisan pertama membantu orang tua kita menjadi seorang ahli ibadah dan ahli taubat.
Ingatlah, walau bagaimanapun kita punya hutang budi pada orang tua kita. Keburukan yang ada pada mereka, jangan menjadikan kebencian, jangan pula menyalahkan dan menyesali diri, “Kenapa saya lahir dari orang tua yang sudah cerai?” misalnya. Atau adapula anak yang sibuk menyalahkan diri, karena tidak pernah tahu keberadaan orang tuanya. Sama sekali tidak akan menyelesaikan masalah jika hanya menyalahkan keadaan. Lebih baik kita tanyakan pada diri ini, apakah sudah punya manfaat tidak kita ini? Makin banyak manfaat yang kita lakukan dengan ikhlas, Insya Allah itulah rizki kita.
Begitu pula terhadap lingkungan, kita harus punya akhlak tersendiri. Seperti pada binatang, kalau tidak perlu tidak usah kita menyakitinya. Ada riwayat seorang ibu ahli ibadah, tapi Allah malah mencapnya sebagai ahli neraka. Mengapa? Ternyata karena si ibu ahli ibadah ini pernah mengurung kucing dalam sebuah tempat, sehingga si kucing tidak mendapatkan jalan keluar untuk mencari makan, padahal oleh si ibu tidak pula diberi makan, sampai akhirnya kucing itu mati. Karenanya, walau si ibu ini ahli ibadah, tapi Allah melaknatnya karena akhlak pada makhluknya jelek.
Kadang aneh kita ini, ketika duduk di taman nan hijau, entah sadar atau tidak kita cabuti rumput atau daun-daunan yang ada tanpa alasan yang jelas. Padahal rumput, daun, dan tumbuh-tumbuhan yang ada di alam semesta ini semuanya sedang bertasbih kepada-Nya. Yang paling baik adalah jangan sampai ada makhluk apapun di lingkungan kita yang tersakiti. Termasuk ketika menyiram atau memetik bunga, tanaman, atau tumbuhan lainnya, hendaklah dengan hati-hati, karena tanaman juga mengerti apa yang dilakukan kita kepadanya. Dikisahkan ketika Nabi SAW pindah mimbar, yang asalnya menyandar pada sebuah pohon kurma, maka pohon kurma itu diriwayatkan sangat sedih dan menangis, karena ia telah ditinggalkan sebagai alat bantu Rasulullah SAW dalam menyampaikan ilmu kepada para sahabatnya.
Kejadian lain adalah ketika seorang hamba yang shalih dihampiri seekor singa yang mengaum-ngaum seakan hendak menerkamnya. Tentu saja semua orang yang melihat kejadian ini berlari ketakutan. Anehnya, hamba yang shalih ini sama sekali tidak kelihatan merasa takut, kenapa? Karena dia yakin bahwa singa juga makhluk dalam genggaman Allah dan sama-sama sedang bertasbih kepada-Nya. Seraya mengajak berbicara layaknya pada makhluk yang bisa diajak bicara, “Mau apa kesini? Kalau tidak ada kewajiban dari Allah dan hanya untuk mengganggu masyarakat, alangkah baiknya engkau pergi”, maka pergilah singa itu, Subhanallah. Demikianlah, orang yang takutnya hanya kepada Allah, makhluk pun tunduk kepadanya.
Seperti halnya ketika ada ular di halaman rumah, maka bagi orang yang akhlaknya baik dan dia merasa tidak terganggu, sama sekali dia tidak akan membunuhnya, malah ditolongnya si ular ini untuk bisa kembali ke habitatnya, itu yang lebih baik. Kalaupun dirasa mengganggu sehingga tidak ada jalan lain kecuali harus dibunuh, maka ia akan membunuhnya dengan cara terbaik, dan tidak lupa disebutnya asma Allah. Jadilah proses membunuh ular ini sebagai ladang amal.
Betapa indah pribadi yang penuh pancaran manfaat, ia bagai cahaya matahari yang menyinari kegelapan, menjadikannya tumbuh benih-benih, bermekarannya tunas-tunas, merekahnya bunga-bunga di taman, hingga menggerakkan berputarnya roda kehidupan. Demikianlah, cahaya pribadi kita hendaknya mampu menyemangati siapapun, bukan hanya diri kita, tetapi juga orang lain dalam berbuat kebaikan dengan full limpahan energi karunia Allah Azza wa Jalla, Zat yang Maha Melimpah energi-Nya, Subhanallah. Ingatlah, hidup hanya sekali dan sebentar saja, sudah sepantasnya kita senantiasa memaksimalkan nilai manfaat diri ini, yakni menjadi seperti yang disabdakan Nabi SAW, sebagai Khairunnas. Sebaik-baik manusia! Insya Allah.


What After Ramadhan?!
Oleh: Muhammad Rifqi Arriza, Lc

Berakhirnya bulan ramadhan selalunya memberikan dua kesan, kegembiraan dengan datangnya hari kemenangan dan kekecewaan dengan berlalunya bulan yang penuh maghfirah, bulan yang sangat kondusif untuk beribadah, bulan saat para setan 'diistirahatkan' dari mengganggu hati dan pikiran manusia. Masih banyak lagi keutamaan bulan ini, baik sifatnya kolektif, maupun bagi masing-masing personal umat Islam.
Namun penulis menyangsikan dua hal ini bersemayam dalam jiwa mayoritas umat Islam. Melihat komplikasi penyakit umat pada zaman di mana kebebasan sangat tak terbatas seperti sekarang, ditambah dengan degradasi moral maupun tauhid, apalagi terpaan krisis ekonomi yang begitu dahsyat, sangat berpotensi mengalihkan fokus dan pikiran umat Islam dari akhirat maupun dari sekedar menghayati posisinya di mata Tuhan. Meskipun penulis tidak menafikan masih adanya 'jiwa-jiwa yang bersih', yang senantiasa terpaut dengan kenikmatan akhirat, tiada tertipu sedikitpun dengan kehidupan dunia yang sementara.

Lantas apakah cukup seperti itu saja sikap kita? Gembira sekaligus kecewa, tanpa diteruskan dengan bukti kongkrit wujud kedua hal di atas, tentu tidak. Salah satu amalan di bulan syawwal adalah puasa sunnah selama enam hari. Puasa ini tidak wajib secara berurutan, artinya kita dapat melaksanakannya mulai dari 2 syawwal, kemudian 6, 10, 15, 18, 15, atau kita juga dapat berpuasa pada tanggal dua sampai tujuh syawaal berturut-turut.

Salah satu keutamaan puasa ini adalah pahalanya seperti puasa setahun penuh, jika kita telah berpuasa ramadhan 30 hari. Karena Allah Swt. mengatakan setiap amal baik nilainya adalah sepuluh pahala, jadi 30 x 10 = 300 dan 6 x 10 = 60, jumlahnya 360 hari. Mungkin inilah jawaban Nabi bagi para sahabatnya yang menginginkan semua bulan adalah bulan ramadhan. Maka dengan pahala yang berlipat ganda seperti ini, masih ada saja yang malas-malasan dan acuh tak acuh dengan puasa syawwal, sangat merugilah dia. Khusranan mubinan

Bertambah takwa atau kembali lupa?

Secara gamblang al-Quran menyebutkan bahwa tujuan diwajibkannya puasa adalah supaya kita dapat menjadi orang yang bertakwa, atau minimal mendekati kriteria mereka. Pertanyaan selanjutnya adalah apakah setelah berlalunya ramadhan ketakwaan kita telah bertambah atau kita malah mengulangi 'dosa-dosa' kita terhadap Tuhan maupun manusia sebelum ramadhan? Kita sendiri yang dapat menjawabnya.

Singkatnya, ketakwaan adalah melaksanakan segala perintah Allah dan menjauhi semua larangan-Nya. Maka saat bulan syawwal tiba tetapi kita malah kembali melakukan hal-hal yang dilarang dan 'menepikan' perintah-perintah Allah, kita belum bisa disebut orang yang bertakwa.

Jika saat ramadhan dapat menahan untuk tidak merokok minimal di siang harinya, kenapa setelah ramadhan kembali 'bunuh diri pelan-pelan' dengan merokok sepanjang hari, terkadang sampai 3-4 bungkus setiap harinya. Padahal tidak sedikit ulama yang mengharamkannya, disamping para dokter yang menghimbau keras larangan mengkonsumsinya. Jika ulama dan dokter tidak lagi kita hiraukan, siapa lagi yang akan kita dengar?!. Jangan sampai hati dan nurani kita tertutup dengan 'asap dunia'.

Seharusnya para perokok dapat menjadikan ramadhan sebagai terapi untuk mulai berhenti merokok, minimal dapat mengurangi konsumsi setiap harinya. Karena memang kebiasaan merokok yang telah mendarah daging tidak dapat ditinggalkan secara langsung, tapi bertahap. Insya Allah dengan tekad yang kuat, dan target yang jelas kebiasaan buruk ini akan dapat ditinggalkan. Karena bisa jadi, rokok adalah lumbung dosa, melihat bahayanya bagi diri sendiri dan orang lain.

Kun rabbaniyyan wa la takun ramadhaniyyan

Istilah ini akan sering kita dengarkan paska ramadhan di negara-negara timur tengah, yang artinya 'jadilah hamba Allah yang sebenarnya, jangan jadi hambanya ramadhan'. Istilah ini sangat singkat dan padat, mengajak kita untuk benar-benar memaknai kehambaan kepada Allah, tanpa terikat ruang dan waktu. Kebanyakan dari kita bisa sangat rajin beribadah di tempat dan waktu tertentu, tapi kemudian intensitas ibadah kita menurun drastis saat meninggalkan tempat dan waktu tersebut.

Sama halnya dengan bulan ramadhan, jangan sampai kita menjadi orang yang munafik di mata Tuhan. Beribadah dengan sungguh-sungguh di bulan ramadhan, tapi kemudian terlelap kembali dengan dunia setelahnya. Jangan sampai kita mengekor para artis dan publik figur yang memakai dan menanggalkan jilbab seenaknya, tergantung permintaan sutradara. Naudzubillah min dzalik

Memang benar, ramadhan mempunyai keutamaan-keutamaan yang tidak dimiliki oleh bulan lainnya. Satu kewajiban yang kita lakukan di dalamnya menyamai pahala 70 kewajiban, sedangkan satu kesunnahan menyamai pahala satu kewajiban, dan banyak lagi lainnya yang telah sering kita dengarkan pada ceramah-ceramah ramadhan. Namun hendaknya hal ini tidak boleh mereduksi makna ibadah kepada-Nya, bahwa kita diperintahkan untuk beribadah sepanjang tahun, selama nafas masih dikandung badan, bukan hanya pada bulan ramadhan. Karena Allah adalah Tuhannya manusia hingga akhir zaman, bukan hanya di bulan ramadhan.

Apa yang harus kita pertahankan setelah ramadhan?

Menurut hemat penulis, ada beberapa hal positif dari ramadhan yang harus kita pertahankan:
Memakmurkan masjid
Menambah porsi untuk menyelami kalam ilahi
Melakukan puasa, sunnah maupun wajib
Menahan diri dari melakukan maksiat
Masih banyak lagi amalan-amalan ramadhan yang harus kita jaga, tapi empat hal di atas insya Allah sudah mewakili. Semoga kita termasuk para hamba-Nya yang rabbaniyyan, bukan ramadhaniyyani.
*Selamat hari raya idul fitri 1431 H, mohon maaf lahir dan batin. Semoga kita termasuk para hamba-Nya yang kembali fitri.

Sistem Ekonomi Berbasis Fitrah
oleh: Muhammad Rifqi Arriza, Lc 

Jika memang tujuan utama hidup di dunia adalah untuk beribadah kepada Allah Swt., sudah selayaknya kegiatan ekonomi kita sejalan dengan kehendak-Nya. Lebih-lebih Islam adalah satu-satunya agama yang mengatur segala kehidupan para pemeluknya, dari mulai bangun tidur sampai tidur lagi, dari hal yang paling kecil hingga paling besar. Maka tak heran, jika
banyak non muslim yang berpaling kepada Islam setelah 'terjaga' dan sadar atas keunggulan agama ini, logis dan universal.

Uniknya, disamping dapat mengikuti kehendak Tuhan, kita mendapatkan bonus dengan fakta bahwa syariah Islam juga sangat manusiawi, sesuai fitrah. Dalam ibadah, muamalah, akhlak, politik, dan tidak ketinggalan dalam konsep ekonomi. Dapat dikatakan, sistem ekonomi yang ditawarkan Islam lebih peduli sosial, dengan tanpa melupakan hak individu. Islam memperlakukan personal dan sosial dengan berimbang, tidak seperti paham sosialis maupun kapitalis.

Judul diatas akan kita telusuri dari berbagai segi, seperti konsep Islam dalam hutang, jual-beli, zakat, dan lainnya. Tentunya penulis hanya akan mengulasnya secara sekilas, sebagai mukaddimah dalam memahami tawaran sistem Islam dalam perekonomian.  

Konsep Hutang-Piutang

Islam memandang hutang sebagai wujud bantuan dari pemilik uang kepada si penghutang, tidak ada unsur lain. Bahkan kesediaan memberi hutang dianggap setara dengan setengah pahala sedekah, tapi dengan satu syarat; menjauhi riba.[1]

Kenapa dengan riba? Karena riba berarti money creates money, tanpa ada kerja yang riil. Riba juga dapat membuat manusia lupa untuk 'memanusiakan manusia', dapat merenggangkan ikatan persaudaraan, bahkan berpotensi besar memutusnya. Nabi juga menerangkan dalam sabdanya, bahwa riba adalah salah satu dosa besar, saking besarnya ia disebutkan satu paket dengan syirik dan pembunuhan.[2] Para pakar ekonomi Islam pun bersepakat bahwa riba adalah crimes against humanity.[3]

Sekarang mari kita bandingkan dengan sistem buatan manusia bernama kapitalisme, mereka ingin memperhalusnya dengan kata bunga. Para kapitalis berdalih bahwa bunga disini adalah timbal balik atas jasa peminjaman uang kepada si penghutang, karena jika uang itu dipakai untuk investasi akan lebih menguntungkan. Anehnya beberapa orang dari umat Islam yang terjerembab dalam lubang kapitalisme punya alasan yang "syari", yaitu kecilnya persentase bunga yang diminta, hanya berkisar 4%-9% saja, apalagi menurut mereka pendapat ini dikuatkan oleh ayat 130 surat Ali Imran.[4]

Alasan pertama dapat dipatahkan dengan fakta bahwa memberikan hutang kepada orang lain adalah bentuk lain dari menabung, menyisihkan sebagian uang untuk keperluan di masa depan. Dalih ini juga mengada-ada, mengingkari kemanusiaan. Seolah-olah semua manusia dilahirkan sebagai orang yang beruntung dan kaya. Adapun alasan kedua dapat langsung dibantah dengan ayat lain pada surat al-Baqarah 279, bahwa tidak ada bedanya riba yang besar dan kecil. Surat Ali Imran 130 diatas juga harus dipahami bahwa riba berlipat-lipat yang disebutkan adalah cermin praktek riba pada zaman jahiliah, bukan berarti hanya riba berlipat-lipat lah yang diharamkan.[5]

Sayangnya, kita hidup dimana riba bukan lagi menjadi hal yang tabu. Bunga dalam kegiatan ekonomi masa kini layaknya nasi yang menjadi konsumsi sehari-hari. Benarlah prediksi Nabi Saw. dalam sabdanya: "akan datang suatu masa dimana setiap orang akan memakan riba, jika tidak memakannya maka dia akan menghirup debunya".[6] Allâhumma bâ'id bainanâ wa baina al-ribâ!

Zakat, Infak, dan Sadaqah

Islam mengajarkan bahwa sebagian dari harta kita adalah hak orang lain,[7] karena tidak semua orang dipilih Tuhan untuk menjadi orang kaya berkecukupan. Itulah zakat, memberikan beberapa persen dari harta untuk menunaikan kewajiban kita kepada sesama, dengan syarat terpenuhi nisab dan haulnya.

Adapun infak dan sadaqah, keduanya lebih bersifat simpati sekaligus empati. Tidak ada batasan jumlah tertentu dalam mengeluarkan infak maupun sadaqah, semuanya murni wujud kasih sayang kepada sesama insan.

Jika kaum sosialis mengatakan "from each according to his ability, to each according his needs",[8] maka Islam mengatakan "setiap orang berhak merasakan hasil keringatnya sendiri, tanpa melupakan hak orang lain atas hartanya". Pada sistem pertama, banyak orang akan merasa terpaksa untuk bekerja, karena sekeras apapun dia bekerja akan mendapatkan hasil yang sama dengan orang lain. Sedangkan pada sistem kedua, seharusnya manusia lebih merasa 'dihargai' privasinya, tapi juga tidak melupakan kewajibanya kepada orang lain yang hanya beberapa persen saja dari hartanya.

Berakhlak dalam Ekonomi

Pegiat kapitalis seperti tidak punya hati. Semua orang mereka anggap musuh bisnis, tanpa perasaan. Asal untung, mereka tidak peduli dengan masalah lain, menghalalkan segala cara.  Saat orang berhutang, mereka kenakan bunga. Saat membeli sesuatu, mereka beri harga yang sangat mahal. Jika perlu, mereka akan berbohong untuk mengeruk untung.

Beda sekali dengan tuntunan Islam yang menjunjung tinggi nilai-nilai akhlak, saling menghormati dan mengasihi. Sebagai contoh, sebut saja sabda Nabi Saw. yang berbunyi: "Allah merahmati seseorang yang tolerir dalam menjual, membeli, dan menagih hutang".[9] Makanya Allah Swt. melaknat orang yang mengurangi timbangan saat menjual, tapi menuntut haknya saat membeli.[10]

Begitulah secuil penjelasan tentang tawaran Islam dalam berekonomi. Penulis bersyukur dengan menjamurnya institusi syariah di Indonesia saat ini. Hal itu menunjukkan umat Islam Indonesia sudah mulai sadar syariah, tidak ingin lagi terjerat dengan kungkungan riba.

Walaupun kita belum dapat mengislamkan ekonomi makro, minimal kita telah berusaha untuk mengislamkan ekonomi mikro umat Islam. Karena perubahan selalu dimulai dari hal yang kecil. Allahummasyhad!



[1] HR. Ibnu Majah dan Baihaqi
[2] HR. Bukhari
[3] Deliarnov, Perkembangan Pemikiran Ekonomi, Raja Grafindo Persada, Jakarta, Cet. VI, 2010,  hal. 277
[4] "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan" (Ali Imran: 130)
[5] Dr. Wahbah Zuhaili, al-Fiqhu'l Islâmi wa Adillatuhu, Dar al-Fikr, Damaskus, cet IX, 2006, hal. 3749
[6] HR. Abu Daud dan Nasai
[7] QS. Al-Dzariyat: 19
[8] Deliarnov, op. cit, hal. 87
[9] HR. Bukhari
[10] QS. Al-Muthaffifin: 1-3

Hadits yang Tertolak karena Gugur dari Sanadnya
Yang dimaksud dengan hadits yang tertolak karena gugur dari sanadnya adalah; terputusnya rantai sanad dengan gugurnya seorang perawi atau lebih baik disengaja oleh sebagian perawi atau tidak disengaja, gugurnya tersebut baik secara transparan maupun tersembunyi.
Yang masuk kategori hadits yang tertolak karena gugurnya perawi dari sanad adalah sebagai berikut:
  • Mu’allaq : (Hadits) yang sanadnya terbuang dari awal sanadnya, satu orang rawi atau lebih secara berturut-turut, bahkan sekalipun terbuang semuanya. Gambarannya adalah : semua sanad dibuang kemudian dikatakan: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda.
  • Mursal : (Hadits) yang sanadnya terbuang dari akhir sanadnya, sebelum tabi’in. Gambarannya, adalah apabila seorang tabi’in mengatakan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, …” atau “Adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan ini dan itu …”.
  • Mu’dlal : Hadits yang sanadnya ada dua orang rawi atau lebih yang gugur secara berturut-turut. Sedangkan I’dhal sendiri adalah terputusnya rangkaian sanad hadits, dua orang atau lebih secara berurutan.
  • Mungqati’ : Hadits yang di tengah sanadnya terdapat perawi yang gugur, satu orang atau lebih, secara tidak berurutan.
  • Mudallas :
    • Tadlis : Menyembunyikan cela (cacat) yang terdapat di dalam sanad hadits, dan membaguskannya secara zahir.
    • Tadlis at-Taswiyah ialah, seorang rawi meriwayatkan suatu hadits dari seorang rawi yang dha’if, yang menjadi perantara antara dua orang rawi yang tsiqah, di mana kedua orang yang tsiqah tersebut pernah bertemu (karena sempat hidup semasa), kemudian rawi (yang melakukan tadlis disebut mudallis) membuang atau menggugurkan rawi yang dha’if tersebut, dan menjadikan sanad hadits tersebut seakan antara dua orang yang tsiqah dan bersambung. Ini adalah jenis tadlis yang paling buruk.
  • Mu’an’an : perkataan seorang perawi : “fulan dari fulan”
  • ‘An’anah adalah Menyampaikan hadits kepada rawi lain dengan lafazh عن (dari) yang mengisyaratkan bahwa dia tidak mendengar langsung dari syaikhnya. Ini menjadi illat suatu sanad hadits apabila digunakan oleh seorang rawi yang mudallis.
  • Mu`annan : perkataan seorang perawi : “telah menceritakan kepada kami fulan, bahwa fulan berkata”
Hadits yang tertolak karena terindikasi cacat atau tertuduh pada diri seorang rawi
Adapun hadits yang tertolak disebabkan adanya indikasi cacat atau tertuduh pada diri seorang rawi ada ada sepuluh macam, lima berkaitan dengan al adalah dan lima berkaitan dengan hafalan.
Adapun yang berkaitan dengan al ‘adalah sebagai berikut:
  1. Dusta / berbohong
  2. Tertuduh berbohong
  3. Fasik
  4. Bid’ah
  5. Jahalah (tidak diketahui)
Sedangkan yang berkaitan dengan hafalan sebagai berikut:
  1. Kesalahan yang parah
  2. Buruk hafalan
  3. Lalai
  4. Banyak terjadi kerancauan hafalan
  5. Menyelisihi orang-orang yang tsiqah
Akibat sebab-sebab diatas berkolerasi kepada kedudukan hadits. Disini kami coba untuk mengurutkannya satu persatu.
· AL MAUDHU’
(Hadits maudhu’/palsu)
Hadits maudhu’ ialah Hadits yang dipalsukan terhadap Nabi.
Hukumnya tertolak dan tidak boleh disebutkan kecuali disertakan keterangan kemaudhu’annya sebagai larangan darinya.
Metode membongkar kepalsuan hadits dengan cara sebagai berikut:
  1. Pengakuan orang yang membuat hadits maudhu’.
  2. Bertentangan dengan akal, seperti mengandung dua hal yang saling bertentangan dalam hal bersamaan,menetapkan keberadaan yang mustahil atau menghilangkan keberadaan yang wajib, dll.
  3. Bertentangan dengan pengetahuan agama yang sudah pasti, seperti menggugurkan rukun dari rukun-rukun Islam atau menghalalkan riba’, membatasi waktu terjadinya kiamat atau adanya nabi setelah nabi Muhammad.
Golongan pembuat hadits palsu
Orang-orang yang termasuk pembuat hadits palsu sangat banyak dan tokohnya yang masyhur adalah:
  1. Ishaq bin Najiih al Malathi.
  2. Ma’mun bin Ahmad al Harawi.
  3. Muhammad bin as Saaib al Kalbii.
  4. Al Mughirah bin Said al Kufi
  5. Muqathil bin Abi Sulaiman.
  6. Al Waqidi
  7. Ibnu Abi Yahya.
Sedangkan golongan pencipta hadits palsu diantaranya:
  1. Az-Zanadiqah (kaum zindik) ialah orang-orang yang berusaha merusak aqidah kaum muslimin, memberangus Islam dan merubah hukum-hukumnya. Seperti Muhammad bin Said al Mashlub yang dibunuh oleh Abu Ja’far al Manshur ia memalsukan hadits atas nama Anas secara marfu’.
    Aku adalah penutup para nabi, tidak ada nabi setelah aku, kecuali kalau Allah berkehendak.
    Dan seperti Abdul Karim bin Abu al Aujaa’ yang dibunuh oleh salah seorang amir Abasyiah di Bashrah dan dia berkata ketika hendak dibunuh:
    Aku telah palsukan kepadamu 4000 hadits, aku haramkan yang halal dan aku halalkan yang haram.
    Dan ada yang berkata bahwa kaum zindik telah membuat hadits palsu terhadap Rasulullah sebanyak 14.000 hadits.
  2. Al-Mutazallif (pencari muka/penjilat) dihadapan para penguasa dan umara seperti: Ghiyats bin Ibrahim, dia pernah datang kepada al Mahdi yang sedang bermain dengan burung dara lalu ia menceritan kepadanya hadits Amirul Mu’minin ia bawakan sanadnya sekaligus ia palsukan hadits terhadap nabi bahwasanya beliau bersabda:
    “Tidak ada perlombaan atau permainan kecuali pada telapak kaki onta atau tombak atau telapak kaki kuda atau sayap (burung dara)”
    lalu al Mahdi berkata: Aku telah membebani dia atas itu (membuat Ghiyat bin Ibrahim berbuat dusta kepadaku untuk mencari muka. Pent). Kemudian dia (al Mahdi) menaruh burung dara tersebut dan menyuruh menyembelihnya.
  3. Al-Mutazallif dihadapan masyarakat dengan menyebutkan cerita-cerita yang aneh untuk targhib atau tarhib atau mencari harta atau kemuliaan (jah): seperti para pencerita (hikayat) yang berbicara dimasjid-masjid dan tempat-tempat keramaian dengan cerita-cerita yang memberikan kedahsyatan dari kisah-kisah yang aneh.
  4. Orang-orang yang terlalu bersemangat terhadap agama. Mereka membuat hadits-hadits palsu tentang keutamaan-keutamaan Islam dan sarana yang menuju kepadanya dan hadits-hadits juhud terhadap dunia dengan tujuan agar manusia peduli terhadap agama dan juhud terhadap dunia. Seperti: Abu Ashamah Nuh bin Abi Maryam Qadhi Marwi, ia membuat hadits-hadits palsu tentang keutamaan surat-surat al quran, surat demi surat dan ia berkata: aku melihat manusia menjauhkan al quran dan sibuk terhadap fiqh Abu Hanifah dan Maghaazi bin Ishak oleh karena itu aku buat hadits palsu itu (keutamaan hadits palsu).
  5. Orang-orang yang ta’ashub terhadap mazhab atau jalan atau negeri atau yang diikuti (imam) atau kabilah mereka membuat hadits-hadits palsu tentang keutamaan yang mereka ta’asubkan dan pujian terhadapnya. Seperti Maisarah bin Abdu Rabah yang mengaku telah membuat hadits palsu terhadap nabi r sebanyak 70 hadits tentang keutamaan Ali bin Abu Thalib.
· Al Matruk : Hadits yang di dalam sanadnya terdapat rawi yang tertuduh sebagai pendusta.

· Al Munkar : Hadits yang diriwayatkan oleh seorang rawi yang dha’if dan riwayatnya bertentangan de-ngan riwayat para rawi yang tsiqah.
Perbedaan antara Syadz dengan munkar adalah; syadz diriwayatkan oleh seorang perawi yang maqbul sedangkan munkar diriwayatkan oleh seorang perawi dla’if.
· Al Mu’allal : Hadits yang ditemukan ‘illat di dalamnya yang membuat cacat keshahihan hadits tersebut, meskipun pada dzahirnya terlihat selamat.
· Al Mudraj : Hadits yang di dalamnya terdapat tambahan yang bukan darinya, baik dalam matan atau sanadnya. Sementara idraj sendiri itu bermakna tambahan (sisipan) pada matan atau sanad hadits, yang bukan darinya.
· Al Maqlub : mengganti satu lafadz dengan lafadz lain di dalam sanad sebuah hadits atau matannya, dengan cara mendahulukannya atau mengakhirkanya.
· Al Mudhtharib : Hadits yang diriwayatkan dari seorang rawi atau lebih dalam berbagai versi riwayat yang berbeda-beda, yang tidak dapat ditarjih dan tidak mungkin dipertemukan antara satu de-ngan lainnya.
Mudhtharib (goncang).
· Asy Syadz : Hadits yang diriwayatkan oleh seorang rawi yang pada hakikatnya kredibel, tetapi riwayatnya tersebut bertentangan dengan riwayat rawi yang lebih utama dan lebih kredibel dari diri-nya. Lawan dari syadz adalah rajih (yang lebih kuat) dan sering diistilahkan dengan mahfuzh (terjaga).
· Jahalah bi arruwwah : Tidak diketahui secara pasti, yang berkaitan dengan identitas dan jati diri seorang rawi.
Adapun klasifikasi majhul ada tiga, yaitu
Majhul al-’Adalah : Tidak diketahui kredibelitasnya.
Majhul al-’Ain : Tidak diketahui identitasnya. Yaitu rawi yang tidak dikenal menuntut ilmu dan tidak dikenal oleh para ulama, bahkan termasuk di dalamnya adalah perawi yang tidak dikenal memiliki hadits kecuali dari seorang perawi.
Majhul al-Hal : Tidak diketahui jati dirinya.

· Bid’ah : mengada-adakan suatu perkara yang tidak ada asalnya dalam syariat. Adapun yang memiliki bukti dari syariat maka bukan bidah walaupun bisa dikatakan bidah secara bahasa. Bid’ah di golongkan menjadi dua golongan;
1. Bid’ah yang membuat kafir
2. Bid’ah yang membuat fasik

· Buruk hafalan : sisi salahnya lebih kuat ketimbang sisi benarnya dalam meriwayatkan sebuah hadits.
Sumber: Lidwa.com Klik Disini


Istilah-Istilah Dalam Jarhu Wa-ta`dil
  • Al jarhu wa ta’dil : Pernyataan adanya cela dan cacat, dan per-nyataan adanya “al-Adalah” dan “hafalan yang bagus” pada seorang rawi hadits.

  • At Ta’dil : Pernyataan adanya “al-Adalah” pada diri se-orang rawi hadits.

  • Al Jarhu : Celaan yang dialamatkan pada rawi hadits yang dapat mengganggu (atau bahkan meng-hilangkan) bobot predikat “al-Adalah” dan “hafalan yang bagus”, dari dirinya.

  • Tsiqah : Kredibel, di mana pada diri seorang rawi ter-kumpul sifat al-Adalah dan adh-Dhabt (hafalan yang bagus).

  • Rawi La Ba`sa Bihi : Rawi yang masuk dalam kategori tsiqah.

  • Jayyid : Baik

  • Layyin : Lemah.

  • Majhul : Rawi yang tidak diriwayatkan darinya kecua-li oleh seorang saja.

  • Mubham : Rawi yang tidak diketahui nama (identitas)nya.

  • Mudallis : Rawi yangi melakukan tadlis.

  • Rawi Mastur : Sama dengan Majhul al-Hal (Rawi yang tidak diketahui jati dirinya).

  • Perawi Matruk : Perawi yang dituduh berdusta, atau perawi yang banyak melakukan kekeliruan, sehingga periwayatanya bertentangan dengan periwayatan perawi yang tsiqah. Atau perawi yang sering meriwayatkan hadits-hadits yang tidak dikenal (gharib) dari perawi yang terkenal tsiqah.

  • Rawi Mudhtharib : Rawi yang menyampaikan riwayat secara tidak akurat, di mana riwayat yang disam-paikannya kepada rawi-rawi di bawahnya berbeda antara yang satu dengan lainnya, yang menyebabkan tidak dapat ditarjih; riwayat siapa yang mahfuzh (terjaga).

  • Rawi Mukhtalith : Rawi yang akalnya terganggu, yang menye-babkan hafalannya menjadi campur aduk dan ucapannya menjadi tidak teratur.

  • Rawi yang tidak dijadikan sebagai hujjah : Rawi yang haditsnya diriwayatkan dan ditulis tapi haditsnya tersebut tidak bisa dijadikan sebagai dalil dan hujjah.

  • Saqith : Tidak berharga karena terlalu lemah (parahnya illat yang ada di dalamnya).

  • Tadh’if : Pernyataan bahwa hadits atau rawi bersang-kutan dha’if (lemah).

  • Tahqiq : Penelitian ilmiah secara seksama tentang suatu hadits, sehingga mencapai kebenaran yang paling tepat.

  • Tahsin : Pernyataan bahwa hadits bersangkutan ada-lah hasan.

  • Ta’liq : Komentar, atau penjelasan terhadap suatu poto-ngan kalimat, atau derajat hadits dan sebagai-nya yang biasanya berbentuk cacatan kaki.

  • Takhrij : Mengeluarkan suatu hadits dari sumber-sum-bernya, berikut memberikan hukum atasnya; shahih atau dhaif.

  • Syahid : Hadits yang para rawinya ikut serta meriwa-yatkannya bersama para rawi suatu hadits, dari segi lafazh dan makna, atau makna saja; dari sahabat yang berbeda.

  • Syawahid : Hadits-hadits pendukung, jamak dari kata syahid. Haditsnya layak dalam kapasitas syawahid, artinya, dapat diterima apabila ada hadits lain yang memperkuatnya, atau sebagai yang me-nguatkan hadits lain yang sederajat dengannya.

  • Mutaba’ah : Hadits yang para rawinya ikut serta meriwa-yatkannya bersama para rawi suatu hadits gharib, dari segi lafazh dan makna, atau makna saja; dari seorang sahabat yang sama.

Referensi Daftar Istilah:
  1. Taisir Mushthalah al-Hadits, Dr. Mahmud ath-Thahhan.

  2. Manhaj an-Naqd Fi Ulum al-Hadits, Dr. Nuruddin Ithir.

  3. Shahih targhib 2.

Sumber: Lidwa.com klik Disini

Google Anda

facebook 1.1k

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.
Javascript DisablePlease Enable Javascript To See All Widget