Halloween Costume ideas 2015

KPK dan Polisi Makin Mengeras

ITULAH yang kita lihat dalam penanganan dugaan korupsi simulator surat izin mengemudi yang terjadi di Korps Lalu Lintas, Kepolisian Republik Indonesia. Polisi bersikukuh untuk menangani kasus korupsi yang terjadi di institusinya dan tidak mau menyerahkan penanganan kasus ke Komisi Pemberantasan Korupsi.



Ibarat rumah yang sedang terpakai, kita bukan bergegas mematikan apinya, kita malah terus memperdebatkan siapa yang lebih berhak untuk mematikan api. Dengan sikap seperti itu tidak usah heran apabila api malah semakin membesar dan menghabiskan semua yang ada.



Tarik menarik antara polisi dan KPK dalam korupsi simulator SIM yang kita khawatirkan adalah dampaknya terhadap kepastian hukum. Bagaimana untuk satu kasus korupsi yang sama sampai ada dua institusi penegak hukum berbeda yang menanganinya.



Kalau kita biarkan persoalan ini terus bergulir tidak terbayang komplikasi yang terjadi dalam penegakan hukum ke depan. Hakim pasti akan kebingungan ada tuntutan berbeda atas sebuah kasus korupsi yang sama.



Bukan mustahil tuntutan kepada mantan Kepala Korlantas Inspektur Jenderal Djoko Susilo yang ditangani KPK berbeda dengan tuntutan yang dihadapi Wakil Kepala Korlantas Brigjen Didik Purnomo yang kasusnya ditangani Polri. Dalam konteks pembangunan kesadaran hukum di masyarakat, perebutan penanganan hukum antara polisi dan KPK menjadi contoh yang tidak baik.



Atas dasar itulah kita mendorong agar diambil sikap untuk menciptakan kepastian hukum. Kita tidak perlu kebingungan untuk menuntaskan perbedaan ini karena sudah ada undang-undang yang mengatur semua itu.



UU KPK secara tegas mengatakan bahwa apabila ada kasus korupsi yang disidik oleh KPK, maka institusi penegak hukum lain harus menyerahkan kasus tersebut ke KPK. Sebagai institusi yang "extraordinary", KPK mempunyai kewenangan yang jauh lebih tinggi dari polisi maupun kejaksaan.



Polisi tidak perlu lagi mempertanyakan kembali kewenangan tersebut. KPK memang dibentuk atas kesepakatan kita bersama untuk memberantas korupsi yang sudah mengakar di negeri ini. KPK dilahirkan karena polisi dan kejaksaan yang semula mempunyai kewenangan itu, bukan hanya tidak mampu memberantas korupsi, tetapi menjadi bagian dari pelaku korupsi itu sendiri.



Kasus dugaan korupsi pada pengadaan simulator SIM merupakan kasus terakhir yang melibat oknum polisi dalam kasus korupsi. Tidak tanggung-tanggung ada dua jenderal yang diduga terlibat dan untuk itulah KPK menetapkan keduanya menjadi tersangka bersama pelaku-pelaku yang lain.



Kalau sekarang banyak pihak mendesak Presiden menggunakan kewenangannya sebagai Kepala Negara untuk menghentikan perseteruan antara polisi dan KPK, itu sangat bisa dimengerti. Sebagai seorang Kepala Negara, Presiden tidak boleh membiarkan terjadinya ketidakpastian dalam penegakan hukum.



Langkah yang ditempuh Presiden untuk menyelesaikan persoalan ini bukanlah bentuk intervensi hukum. Sebab langkah yang diambil bukan dalam kedudukan Presiden sebagai kepala pemerintahan, tetapi sebagai seorang kepala negara. Sikap kenegarawan dibutuhkan untuk menyelesaikan konflik tidak berujung pada dua lembaga penegak hukum.



Kepala Negara cukup mengacu kepada undang-undang yang sudah jelas bunyi perintahnya. Tidak ada hal yang perlu dipertanyakan lagi karena tidak ada lagi yang abu-abu dalam langkah pemberantasan korupsi.



Tarik menarik kewenangan antara polisi dan KPK sendiri sekarang ini sudah pokrol bambu. Polisi tetap bersikukuh pada memorandum of understanding yang ditandatangani bersama KPK bahwa lembaga penegak hukum dilarang mengintervensi proses penyidikan yang sedang dilakukan penegak hukum yang lain.



Polisi merasa bahwa pihaknya sedang melakukan penyidikan terhadap dugaan korupsi pengadaan simulator SIM. Oleh karena itu mereka merasa terusik ketika KPK kemudian ikut masuk dan menyelidiki kasus yang sedang mereka tangani. Itulah yang menjadi dasar mengapa mereka tidak pernah akan mau menyerahkan kasus korupsi simulator SIM ke KPK.



Hanya saja kesungguhan polisi memang pantas dipertanyakan karena pada bulan Mei mereka mengirimkan hak jawab ke Majalah Tempo atas tulisan tentang dugaan korupsi di Korlantas. Dalam surat pembaca yang disampaikan Kepala Divisi Humas Mabes Polri Irjen Saud Usman Nasution jelas-jelas dikatakan bahwa dari hasil pemeriksaan internal tidak ditemukan bukti terjadinya korupsi dalam pengadaan simulator SIM.



Atas dasar itu memang menjadi tanda tanya ketika Kepala Badan Reserse dan Kriminal Mabes Polri Komisaris Jenderal Sutarman mengatakan bahwa pihak sudah meningkatkan status dari penyelidikan menjadi penyidikan dalam kasus tersebut. Inilah yang menimbulkan kecurigaan bahwa polisi hanya mencoba menutupi kasus korupsi ini dan karena itu tidak mau menyerahkannya kepada KPK.



Sekarang ini yang kita butuhkan hanyalah kedewasaan dan kebesaran hati dari semua pihak. Apa yang kita lakukan bukanlah untuk kepentingan pribadi, tetapi kepentingan bangsa dan negara. Oleh karena itu maka kita harus mau mendahulukan apa yang paling baik untuk bangsa dan negara ini.

sumber : klik

Posting Komentar

Google Anda

facebook 1.1k

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.
Javascript DisablePlease Enable Javascript To See All Widget